MK Digugat Balik Secara Moral: Putusan Pemilu Terpisah Dianggap Langgar UUD 1945
Infoaceh.net – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dengan pemilu daerah menuai sorotan tajam.
Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI), Prof Abdul Chair Ramadhan menyebut putusan tersebut sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi.
Menurutnya, MK telah melampaui batas kewenangan dalam menguji gugatan yang diajukan pemohon. Pasal-pasal dalam undang-undang yang dimohonkan untuk diuji itu, jelas Abdul, merupakan bagian dari kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang seharusnya menjadi ranah pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang.
“Suatu norma dalam undang-undang yang merupakan kebijakan hukum terbuka tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi,” tegas Abdul Chair dalam keterangannya, Selasa, 8 Juli 2025.
Ia menekankan bahwa norma hukum yang termasuk dalam kebijakan hukum terbuka berada di wilayah konstitusional, dan dengan demikian telah sesuai dengan UUD 1945.
Abdul mengutip putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan bahwa Mahkamah sebagai pengawal konstitusi tidak berwenang membatalkan norma dalam UU jika norma tersebut merupakan delegasi kewenangan yang sah dari pembentuk undang-undang.
“MK justru telah berseberangan dengan pendapatnya sendiri dan terperangkap dalam posisi positive legislature,” ujarnya.
Ia juga menyoroti bahwa dalil pemohon dalam perkara ini tidak menyentuh persoalan konstitusionalitas norma, melainkan aspek implementasi di lapangan. Menurutnya, hal itu seharusnya tidak menjadi yurisdiksi MK.
“Tentu berbeda antara validitas norma dengan bekerjanya hukum. Mengapa permohonan seperti ini bisa diterima oleh Mahkamah?” heran Abdul Chair.
Ia mempertanyakan dasar dalil pemohon yang menyatakan bahwa penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 dan 2024 melemahkan kualitas demokrasi, memperburuk pelembagaan partai politik, serta merugikan hak pemilih berdasarkan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
“Apakah benar terdapat kerugian konstitusional yang memiliki causal verband langsung dengan norma UU yang diuji?” tanyanya lagi.
Abdul juga mengkritisi asumsi bahwa dengan dikabulkannya permohonan pemisahan pemilu, maka kerugian yang dimaksud tidak akan terjadi lagi. “Apakah ada jaminan hal itu tidak akan terjadi lagi setelah putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024?” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa penyatuan jadwal pemilu nasional dan lokal justru merupakan bentuk pelaksanaan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Menurutnya, esensi konstitusi sudah jelas mengamanatkan pemilu setiap lima tahun.
“Tidak perlu ditafsirkan ulang apalagi diubah maknanya menjadi lebih dari lima tahun. Yang paling penting adalah kemanfaatan umum sebagaimana yang dikehendaki konstitusi,” pungkasnya.