BANDA ACEH — Penetapan tersangka dan penahanan terhadap salah satu pemilik toko di Simeulue dikarenakan membantu perangkat desa yang kesulitan mencairkan dana desa di akhir tahun anggaran 2019 dinilai sebagai langkah hukum yang ambigu dan aneh.
Pasalnya, di satu sisi dalam persoalan ini pihak yang berupaya membantu kesulitan pembangunan desa justru kena batu sandungan hukum. Di lain pihak pedagang toko bangunan RD Baru bernama Surya Mandala, itu malah harus menderita kerugian moril dan materil, sementara pihak Polres Simeulue seperti melewatkan kondisi dimana Bank Aceh Syariah tak memiliki uang tunai dalam jumlah besar pada akhir tahun.
“Awalnya pihak perangkat desa sudah meminta Bank Aceh Syariah untuk mencairkan uang desa, namun terkendala karena tidak tersedia stok uang tunai karena akhir tahun. Jadi, pihak perangkat desa yang dihadapkan dengan kesulitan keuangan desa Kuala Makmur harus membayar berbagai berbagai kebutuhan, lalu meminta bantu kepada pedagang toko yang kebetulan punya uang tunai untuk membantu.
Kemudian karena pihak desa berutang uang tunai Rp 200 juta kepada pedagang tersebut, meminta pihak Bank Aceh Syariah untuk membayar dengan mengirim saldo pembayaran ke rekening toko. Proses peminjaman tersebut ada kuitansi dan disaksikan perangkat desa, sehingga sangat aneh rasanya ketika seorang pedagang yang pada dasarnya membantu kesulitan desa dan Bank Aceh Syariah yang tidak ada uang tunai, malah jadi tersangka dan ditahan,” ungkap juru bicara Kaukus Peduli Aceh (KPA), Refan Kumbara kepada media, Minggu (18/7).
Refan menerangkan, untuk menunggu pencairan dana desa yang sering agak lama prosesnya pengamprahannya, maka tentunya perangkat desa akan mencari tempat/toko yang bersedia untuk memberikan utang agar proses pembangunan desa tidak terhambat.
Apalagi, pencairan anggaran tahap II sering dilakukan jelang akhir tahun, jika tidak berutang maka pihak desa akan kesulitan untuk tetap melakukan kegiatan.
“Kejadian di Simeulue ini dapat berdampak kepada kekhawatiran bahkan ketakutan pihak pedagang atau swasta untuk memberikan utang kepada perangkat desa dalam membangun. Dampaknya pembangunan desa akan terhambat, jika semua pihak swasta yang memberikan utang dianggap berpotensi dikenakan UU 55 Tipikor,” jelasnya.
KPA juga menduga selama ini banyak pihak kepolisian yang bermain di pembangunan yang bersumber dari dana desa dengan mencari-cari kesalahan dan memanfaatkan keterbatasan pemahaman pihak perangkat desa terkait pengelolaan keuangan dan administrasi.
“Kita harap Kapolda Aceh dapat turun tangan dan menyelidiki kemungkinan oknum polisi nakal yang mencari pundi-pundi dengan menggertak aparatur desa. Jika Polda tidak tegas maka ke depan polisi di daerah/di lapangan akan semakin semena-mena dan berkemungkinan menjadikan pihak desa sebagai ATM berjalan, ini tentunya akan merusak semangat reformasi di tubuh Polri,” jelasnya.
Refan kembali melanjutkan, pasal 55 ayat 1 KUHP itu sering digunakan sebagai senjata ampuh dalam rangka menjerat pihak yang tak disenangi, kendatipun pihak tersebut tidak merugikan negara.
“Seperti halnya kejadian yang menimpa pedagang toko bangunan di Simeulue, apakah membantu kesulitan Desa dengan memberikan utang baik material maupun uang tunai dapat dikaitkan dengan membantu pelanggaran hukum, tentu ini sangat naif.
Kapolda Aceh yang selama ini sangat tegas terhadap bawahannya harus turun tangan menunjukkan bahwa kepolisian di Aceh adalah mitra masyarakat dan tidak dalam rangka mencari kambing hitam yang dapat membuat masyarakat resah dan dirugikan secara moril dan materil,” jelasnya.
Bayangkan saja, kata Refan, ketika pihak yang membantu perangkat desa yang kesulitan mendapatkan uang tunai diakhir tahun anggaran malah dijadikan tersangka ditahan dengan dalih keterkaitan, tentunya akan merugikan pihak tersebut baik secara moril maupun materil.
“Di sini Polres Simeulue terlihat terlalu terburu-buru menetapkan tersangka dan melakukan penahanan, sehingga berpotensi mengorbankan orang yang tak salah. Bayangkan saja barang buktinya belum lengkap, bahkan sangking terburu-burunya, polisi justru menetapkan uang Rp 80 juta dari yang awalnya diminta polres dengan dalih disebutkan untuk jaminan penahanan dan diserahkan, malah dijadikan untuk barang bukti (BB). Padahal dalam kasus tersebut bukan operasi tangkap tangan(OTT), inikan sesuatu banget.
Kemudian, secara aspek sosial, pihak yang ditetapkan sebagai tersangka yang belum jelas bersalah tentunya akan mengalami tentunya beban psikologis di masyarakat, belum lagi seperti pedagang di Simeulue tersebut otomatis juga dirugikan secara materil bisa jadi penurunan citra toko yang berdampak terhadap penurunan penghasilan dan sebagainya. Ini sungguh memilukan,” jelasnya.
Dalam persoalan penetapan tersangka, KPA mengingatkan kepolisian, khususnya Kapolres Simeuleu tentang adagium hukum mengingat pihaknya menilai banyak kejanggalan dalam penetapan tersangka pedagang toko bangunan berinisial SA yang notabenenya hanya membantu memberikan utang dan mencairkan uang tunai demi menangani kesulitan desa.
“Kezaliman yang paling besar dalam hukum adalah menghukum orang yang tidak bersalah. Hal ini sejalan dengan adagium hukum yang mengatakan “Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Lantas, bagaimana jika Polres sebagai penegak hukum menetapkan tersangka yang salah hanya untuk memenuhi target pencapaiannya semata, ini tentu sangat miris,” tegasnya.
KPA meminta pihak Polda Aceh untuk turun tangan demi menghindari penetapan tersangka dan penahanan terhadap pihak yang tak bersalah.
“Kapolda harus memastikan bahwa polisi bersama rakyat, dan tidak membiarkan bawahannya semena-mena dalam bekerja. Apalagi, ini menjelang Hari Raya Iduladha, bayangkan beban psikologis yang dialami pihak terkait dan keluarganya. Padahal, jelas-jelas yang bersangkutan tidak melakukan tindakan yang merugikan negara, hanya mempermudah kesulitan desa, tidak bisa asal kait-kaitkan gitu, apalagi ada saksi dan bukti kwitansi bahwa desa pinjam uang tunai dan berutang. Masak bayar utang dan pinjaman dikenakan pasal 55 ayat 1 KUHP, aneh bin ajaib,” pungkasnya. (IA)