Plt. Wakil Jaksa Agung: KUHAP Baru Harus Sejalan dengan Hukum Syariah Aceh
Banda Aceh, Infoaceh.net – Pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak boleh mengabaikan realitas sosial dan budaya lokal, termasuk hukum syariah di Aceh dan kemajuan teknologi digital dalam sistem peradilan.
Hal tersebut disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Jaksa Agung RI, Prof Dr Asep N. Mulyana, saat menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional di UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Rabu (25/6/2025).
Seminar bertajuk “Pembaruan Hukum Acara Pidana dalam Kerangka Integrated Criminal Justice System dan Implikasinya terhadap Penegakan Hukum Syariah di Aceh” ini menghadirkan akademisi, praktisi hukum, dan tokoh-tokoh nasional.
Perubahan Paradigma Hukum Pidana
Dalam pidatonya, Asep menyampaikan bahwa pembaruan KUHAP harus mampu mendorong sistem peradilan pidana yang lebih adil, terintegrasi, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
“Sistem hukum pidana kita harus bergerak dari pendekatan penghukuman ke pemulihan. Alternatif seperti kerja sosial untuk pelanggaran ringan adalah salah satu bentuk keadilan yang lebih manusiawi,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa KUHAP yang baru harus memuat prinsip keadilan substantif, bukan hanya prosedural, serta menjadikan teknologi sebagai bagian tak terpisahkan dari penegakan hukum di era digital.
Hukum Syariah Aceh Perlu Diakui dalam KUHAP Nasional
Menyoroti konteks Aceh, Asep menyatakan bahwa keberadaan hukum syariah harus mendapat tempat dalam sistem hukum nasional. Aceh, menurutnya, adalah contoh nyata bagaimana kearifan lokal bisa menjadi bagian dari konstitusionalisme Indonesia.
Hal ini diamini oleh Prof Dr Syahrizal Abbas, Ketua Prodi Doktor Fiqh Modern UIN Ar-Raniry. Ia menyebut KUHAP baru harus mengakui secara eksplisit sistem hukum pidana syariah yang telah dijalankan di Aceh berdasarkan Qanun No. 6 Tahun 2014 dan Qanun No. 7 Tahun 2013.
“Kepolisian syariah, PPNS, Kejaksaan Syariah, dan Mahkamah Syar’iyah harus dimasukkan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana yang terintegrasi,” ujar Syahrizal.
Seminar juga mendorong pemerintah untuk mengakui keberadaan peradilan adat dalam penyelesaian perkara ringan, khususnya di Aceh.
Menurut para narasumber, pendekatan mediasi penal melalui sulh (perdamaian) dan afw (pemaafan) merupakan bentuk keadilan restoratif yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dan budaya lokal.
Selain Prof. Asep, seminar ini juga menghadirkan tokoh-tokoh hukum nasional seperti Prof Dr Pujiyono Suwadi (Ketua Komisi Kejaksaan RI), Prof Dr Topo Santoso (Guru Besar Hukum Pidana UI), serta akademisi dari Universitas Syiah Kuala (USK) dan UIN Ar-Raniry.
Seminar ini menegaskan satu hal penting: pembaruan hukum tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan sosial, nilai lokal, dan teknologi masa kini.
KUHAP yang baru diharapkan tidak hanya menjadi produk legalistik, tetapi juga cermin keadilan sosial yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang beragam.