Terpengaruh Film Porno Saat Download Game, Anak 13 Tahun di Aceh Besar Perkosa Bocah 5 Tahun
KOTA JANTHO — Kejadian memilukan dan memalukan saat ini terungkap di wilayah hukum Aceh Besar, dimana terdapat tiga kasus anak di bawah umur berhadapan dengan hukum karena terlibat kasus pencabulan dan pemerkosaan yang juga dilakukan kepada anak di bawah umur.
Juru Bicara Mahkamah Syar’iyah Jantho Fadlia SSy MH menyampaikan pada hari Kamis 21 Oktober 2021, Mahkamah Syar’iyah Jantho menyidangkan perkara pemerkosaan anak dengan nomor perkara 03/JN/2021/MS-Jth.
Dalam kasus tersebut, pelakunya adalah anak berusia 13 tahun, sedangkan korban perkosaan adalah bocah berusia 5 tahun.
Agenda sidang di Mshkamah Syar’iyah Jantho dalam kasus pemerkosaan Balita tersebut adalah pembuktian.
“Terungkap dalam pembuktian saat persidangan, bahwa pelaku pemerkosaan yang masih berusia 13 tahun terpengaruh akibat menonton film porno sesaat mendonwload Game di Google,” ujar Fadlia SSy MH.
Kasus anak berhadapan dengan hukum lainnya adalah perkara Nomor 29/JN/2021/MS-Jth dan Nomor 30/JN/2021/MS-Jth dalam Perkara Zina, dan perkara 27/JN/2021/MS – Jth dan 28/JN/2021/MS – Jth dengan perkara Ikhtilat.
Ketua Mahkamah Syar’iyah Jantho Siti Salwa SHI MH melalui Juru Bicaranya Fadlia SSy MH menerangkan bahwa dengan masuknya 3 perkara anak berhadapan dengan hukum, dimana pelaku dan korban sama sama anak di bawah umur, harus menjadi perhatian dari para orang tua.
“Ini adalah alarm peringatan bagi semua orang tua dan anggota masyarkat khususnya di Kabupaten Aceh Besar, untuk terus memantau gerak-gerik tingkah polah perilaku anak selama masa tumbuh kembangnya,” terang Fadlia.
Ia menambahkan, dibutuhkan arahan dan informasi terkait Sex Education atau pendidikan seks yang tepat terhadap anak di masa pubertasnya agar tidak terjadi penyimpangan.
Juga diperlukan pemantauan terhadap anak-anak dalam kesehariannya bermain dengan teman sejawat atau pergaulannya di lingkungan.
Hal ini perlu dilakukan agar hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi ke depannya, dan terpenting mengontrol penggunaan gadget teknologi pegangan si anak, karena anak-anak kerap ingin melakukan, apa yang dilihat (Children See, Children Do). Hal ini semata karena penasaran dan rasa ingin tahu usia anak-anak sangat tinggi.
Sebagaimana diketahui bahwa persidangan kasus pidana anak diatur tersendiri dalam sistem menggunakan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dalam proses hukum pada anak.
Dimana proses peradilannya tidak hanya dimaknai sekedar penanganan anak yang berhadapan dengan hukum semata, namun juga harus mencakup akar permasalahan anak yang melakukan tindak pidana.
Undang undang SPPA merupakan pengganti dari Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan tujuan agar dapat mewujudkan peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Adapun substansi yang diatur dalam UU SPPA antara lain mengenai penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) serta pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi.
Anak yang mengalami masalah dengan hukum dikenal dalam Pengertian Anak Yang Berhadapan Hukum . Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan saksi tindak pidana. (IA)