Rekaman Bocor, Koalisi Retak: Thailand di Ambang Pemilu Dini
Thailand memiliki sejarah panjang intervensi militer, dengan lebih dari selusin kudeta sejak berakhirnya monarki absolut pada 1932.
Ayah Paetongtarn, Thaksin Shinawatra, digulingkan oleh militer pada 2006. Bibi Paetongtarn, Yingluck, juga dilengserkan melalui keputusan pengadilan yang disusul kudeta pada 2014.
Ratusan demonstran turun ke jalan pada Kamis, termasuk kelompok anti-Thaksin “Kaos Kuning” yang menuntut pengunduran diri PM.
Salah satu spanduk bertuliskan: “Pemerintah Thailand Berhati Khmer, Mundur!”
Meski begitu, analis politik Thailand Ken Lohatepanont menilai kudeta belum terlihat sebagai opsi utama.
“Proses demokrasi masih berjalan. Namun tekanan politik jelas meningkat,” ujarnya.
Pihak militer menyatakan tetap menjunjung demokrasi dan kedaulatan nasional.
Panglima Angkatan Darat Jenderal Pana Claewplodtook menyerukan persatuan nasional sebagai prioritas utama.
Masalah hukum pun mulai menghampiri Paetongtarn. Setidaknya tiga petisi telah dilayangkan terhadapnya: ke Komisi Antikorupsi Nasional atas dugaan pelanggaran etika dan konstitusi; ke Biro Investigasi Pusat atas potensi pelanggaran keamanan nasional; dan ke Komisi Pemilu agar menyelidiki kasus tersebut.
Semua ini terjadi di tengah kondisi ekonomi Thailand yang goyah—jumlah wisatawan Tiongkok menurun dan bayang-bayang tarif impor Amerika Serikat sebesar 36% mengintai sektor ekspor.
Paetongtarn, yang baru menjabat belum genap setahun, belum menyatakan mundur.
Ia justru menegaskan bahwa pemerintahannya solid dan siap mendukung militer dalam menghadapi sengketa perbatasan dengan Kamboja.
“Sekarang bukan waktunya saling menyalahkan. Kita harus bersatu untuk mempertahankan kedaulatan nasional,” tegasnya.
Jumat ini, ia dijadwalkan mengunjungi wilayah timur laut Thailand untuk bertemu Letjen Boonsin Padklang—komandan militer yang sebelumnya ia kritik dalam rekaman yang bocor.