Verifikasi Biometrik Naik 6.500 Persen, Rakyat Afrika Selatan Terancam Kehilangan Akses Seluler Murah
JOHANNESBURG, Infoaceh.net – Pemerintah Afrika Selatan memicu gelombang protes setelah menaikkan biaya verifikasi biometrik hingga 6.500 persen, dari hanya 15 sen menjadi R10 per transaksi (sekitar Rp10.000).
Kenaikan drastis ini dipandang akan mengorbankan jutaan pengguna prabayar serta mengancam ekosistem inklusi digital di negara itu.
Departemen Dalam Negeri (DHA) menyatakan kenaikan biaya sebagai bagian dari modernisasi National Population Register (NPR) demi kepentingan nasional. Namun Asosiasi Komunikasi dan Teknologi (ACT) menilai kebijakan ini justru kontraproduktif dan akan membebani rakyat, khususnya kalangan menengah ke bawah.
“Sebagian besar, yakni 80 persen pengguna prabayar rutin berganti kartu SIM karena promosi dan faktor teknis lainnya. Ini berarti jutaan verifikasi biometrik harus dilakukan setiap bulan, dan dengan tarif R10, biaya itu menjadi beban kolektif yang sangat besar,” ujar ACT dalam pernyataan resminya.
ACT juga menyebut, kebijakan baru ini bertentangan langsung dengan Digital Public Infrastructure (DPI) yang dicanangkan Presiden Afrika Selatan. Infrastruktur digital seharusnya memangkas biaya dan meningkatkan akses, bukan malah menaikkan harga layanan dasar.
“Jika pemerintah serius ingin menghapus kemiskinan dan memperkecil ketimpangan, maka kartu SIM dan verifikasi identitas wajib tetap terjangkau. Tanpa itu, target National Development Plan 2030 hanya jadi wacana,” tegas ACT.
Kebijakan tersebut juga mendapat sorotan dari TymeBank, lembaga keuangan digital yang menilai biaya baru ini menghambat inklusi keuangan. Pasalnya, segmen masyarakat berpenghasilan rendah sangat tergantung pada layanan digital murah dan verifikasi biometrik yang cepat.
TymeBank bahkan menyebut kebijakan ini bisa mematikan model bisnis yang melayani sektor informal dan usaha kecil. Verifikasi biometrik murah selama ini menjadi tulang punggung integrasi layanan keuangan berbasis digital.
Namun Menteri Dalam Negeri, Dr. Leon Schreiber, membela keputusan tersebut. Ia menyebut biaya 15 sen yang berlaku sebelumnya tidak mencerminkan biaya sebenarnya dan memungkinkan penyalahgunaan sistem.
“Beberapa pengguna sektor swasta memanfaatkan sistem dengan cara yang salah, menyebabkan sistem overload dan tingkat kegagalan mencapai 50 persen. Kenaikan ini untuk mengatur kembali sistem, dan memastikan stabilitas NPR untuk semua pihak,” jelas Schreiber di hadapan parlemen.
Schreiber juga mengungkap bahwa satu pengguna sektor swasta telah memproses lebih dari satu juta data menggunakan metode batch baru, yang diklaim justru meningkatkan efisiensi sistem NPR.
Terkait kritik TymeBank, sang menteri balik menyerang, menyebut bank tersebut mengambil untung besar dengan mengorbankan pembayar pajak. Menurutnya, tarif baru ini sepadan dengan biaya layanan serupa yang ditawarkan sektor swasta.
Namun kalangan aktivis digital tak sepakat. Mereka menilai kebijakan ini menunjukkan kurangnya kepekaan pemerintah terhadap kesenjangan digital dan kebutuhan dasar rakyat.
ACT menegaskan prinsip Batho Pele – melayani rakyat secara adil dan bertanggung jawab – telah dikhianati dengan menaikkan harga akses identitas digital.
Jika tak ada langkah korektif, kebijakan ini bisa menjadi boomerang, merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah dan memperlebar jurang digital antara warga kelas bawah dan elite teknologi.