Gaya Hidup Mewah Keluarga Pejabat Pajak Gerus Kepercayaan Masyarakat
KASUS penganiayaan seorang remaja bernama David oleh anak pejabat Kantor Pajak bernama Mario Dandy Satrio yang ditangani Polres Jakarta Selatan menggegerkan ruang publik.
Kasus ini viral di media sosial yang kemudian mendapat perhatian banyak pihak, baik institusi kepolisian, institusi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), ormas Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) di mana ayah David menjadi kadernya, media arus utama maupun netizen.
Kepolisian bergerak cepat setelah kasus ini viral di media sosial. Mario langsung ditangkap dan ditahan serta sebuah mobil Jeep Rubicon diamankan sebagai barang bukti.
Aksi penganiayaan ini pun mengundang penasaran netizen untuk mencari tahu siapa sebenarnya Mario serta gaya hidupnya melalui akun media sosial.
Perhatian pun langsung tertuju pada gaya hidup anak muda ini dan dikaitkan dengan posisi ayahnya sebagai pejabat salah satu Kantor Pajak.
Dilansir dari Sindonews, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Dirjen Pajak Suryo Utomo ikut geram dengan kelakuan oknum pegawainya yang gemar pamer kekayaan dan bergaya hidup mewah. Kelakuan oknum seperti ini diyakini akan menggerus integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap jajaran Kementerian Keuangan khususnya Ditektorat Jenderal Pajak.
Kita berharap kepolisian mengusut kasus ini hingga tuntas secara profesional. Korban penganiayaan, David, yang hingga kini masih dirawat di rumah sakit dan dalam keadaan tidak sadarkan diri wajib mendapatkan keadilan atas kekerasan yang dia alami.
Selain orang tuanya, publik dan media massa harus mengawal kasus ini agar tuntas hingga ke pengadilan dan pelaku mendapat hukuman yang setimpal. Semua pihak hendaknya menyerahkan sepenuhnya masalah ini kepada institusi penegak hukum.
Sedangkan bagi jajaran Kementerian Keuangan dan DJP juga harus terus melakukan penertiban terhadap semua pegawai di kementerian ini.
Harus dilakukan semacam operasi integritas atau apapun namanya agar kepercayaan publik yang sudah baik sejak meledaknya kasus mafia pajak Gayus Tambunan pada 2010-2011 bisa terjaga dengan baik.
Jika dibandingan dengan Gayus kasus penganiayaan ini memang tidak sama. Tapi muaranya tetap kepada integritas pegawai pajak yang sudah pasti banyak godaan dalam menjalankan tugasnya.
Pamer gaya hidup mewah adalah awal dari perilaku yang mengundang kecurigaan publik yang makin kritis karena keterbukaan informasi seperti sekarang ini.
Para pegawai negeri dan pejabat negara mestinya sudah paham ketika berada di posisinya masing-masing. Karena mereka digaji penuh oleh negara yang uanganya diambilkan dari hasil penarikan pajak dari rakyat.
Berapa gaji dan fasilitas yang mereka dapatkan pun sudah diatur secara tertulis sehingga publik bisa dengan mudah mengukur dan menghitung sendiri wajar tidaknya harta yang mereka miliki.
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) bisa diakses siapa pun secara terbuka. Karena itu mudah sekali bagi publik untuk mengecek pendapatan ayah Mario yang eselon 2 dan mencocokkan dengan apa yang dilaporkan di LHKPN. Wajar atau tidak wajar.
Andaikan yang bersangkutan memiliki harta yang melebihi kewajaran harus dijelaskan dari mana sumbernya. Jika terdapat unsur pidana harus diteruskan ke penegak hukum.
Yang pasti korelasi ‘ASN sultan’ dengan perpajakan sekarang kembali mencuat gara gara ulah pria berusia 22 tahun-ada yang bilang 20 dan 25 tahun-berinisial MDS, anak Rafael Alun Trisambodo yang bekerja sebagai Kepala Bagian Umum Kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan II.
Putra Rafael ini diduga melakukan penyiksaan terhadap seorang remaja hingga koma tidak sadarkan diri. Rumitnya lagi, korban ini adalah anak dari seorang penggiat GP Ansor, sayap pemuda NU, yang sampai sampai Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas men-tweet”Anak kader, anakku juga. Catat ini!” di atas foto korban penganiayaan. Menteri Yaqut adalah juga pimpinan GP Ansor.
Seperti api disambar bensin, perburuan netizen sampai pada akun medsos MDS yang gemar flexing-pamer kekayaan-diantaranya mobil jeep Rubicon yang dipakai untuk menjemput korban, dan lanjut pada fakta hubungan keluarga MDS dengan Rafael. Klop sudah, sempurna untuk menambah lagi bukti kuat mengapa masyarakat wajar apatis terhadap reformasi di lingkungan Ditjen Pajak. Sudah arogan, kaya raya, petugas pajak pula.
Paling tidak setelah ‘bom atom’ Gayus Halomoan Partahanan Tambunan atau biasa dikenal sebagai Gayus Tambunan, memporak-porandakan wajah Ditjen Pajak. Polanya sama, arogansi yang membuat publik geram, bagaimana dulu dengan rambut palsu Gayus yang masih dalam status tahanan bisa menyaksikan pertandingan tenis Commonwealth Bank Tournament of Champions 2010 di Bali. Tentu masih hangat di ingatan bagaimana halte bus depan kantor pusat Ditjen Pajak dijuluki kenek metromini sebagai ‘halte gayus’.
Wajah Buram Pajak di Mata Rakyat
Ada komentar terkait kasus ini singkat dan padat; jadi makin malas lapor SPT, buat apa? Mereka ini bukan tidak mau bayar, ada yang rajin bayar pajak, tetapi kasus ini membuat ia merasa kehilangan relevansi harus melapor pada institusi yang citranya buruk. Citra Pajak sudah 12-12 dengan kepolisian pasca kasus Sambo. Sudah tukang tagih, eh, keluarganya suka pamer kekayaan, dan terbukti memang kaya sekali.
Harta kekayaan Rafael yang cuma eselon II itu setara dengan pucuk pimpinan Kementerian Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang untuk mendapatkannya sampai perlu menjadi ‘TKW’ di Bank Dunia. Pola masyarakat memandang aparatur negara itugebyah uyah, mengenelasir, seperti misalnya, kalau Gayus yang pangkatnya saja III saja bisa kaya raya begitu ya wajar sih yang lebih tinggi kaya juga. Yang lebih parah lagi, asumsi ini ditudingkan ke semua ASN pajak.
Betul kiranya komentar pertama Ditjen Pajak Suryo Utomo bahwa ulah setitik rusak susu sebelanga, dimana kasus Rafael ini mencoreng muka 45 ribu ASN pajak. Tapi saya ragu, benarkah Rafael ini cuma setitik. Saya menduga banyak sekali Rafael-Rafael lain yang dengan relasi kuasanya sangat mudah memperoleh kekayaan. Saya tidak punya bukti, tapi saya menduga Rafael hanya sebuah puncak gunung es.
Bukankah akan lebih mudah bagi aparatur yang dengan kekuatan super bisa mudah membongkar kekayaan orang, untuk menyembunyikan hartanya sendiri. Contoh saja Rafael, mobil jeep Rubicon dan Harley Davidson anaknya tak tercatat di LHKPN. Jadi selama ini, Menkeu Sri Mulyani mungkin bisa menskrining orang-orang dekatnya, selevel dirjen tetapi bagaimana dengan eselon III dan II dan I?
Dari kasus Gayus dan Rafael patut diduga kebocoran ada pada level paling bawah. Level ASN yang justru melayani hari-hari dengan wajib pajak. Ini membuktikan bahwa reformasi perpajakan juga belum sepenuhnya menyentuh level bawah, masih pada perbaikan sistem perpajakan tetapi belum menyentuh level personal di arus bawah. Betul bahwa ikan busuk dimulai dari kepalanya, tetapi yang terjadi di Ditjen Pajak itu busuk ada di tubuh dan ekornya.
Kasus Rafael sekali lagi menambah beban kebutuhan Ditjen Pajak mereformasi persepsi publik tentang perpajakan di Indonesia. Bahwa kemudian Kementerian Keuangan lebih memilih jalur paksa untuk menaikkan rasio pajak dan setoran pajak adalah sah semata, karena pajak memang bersifat memaksa. Namun, ini adalah upaya yang lebih berat dibandingkan kampanye humanis yang menyentuh kesadaran membayar pajak.
Dirjen Pajak sudah sangat cekatan dengan menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-05/PJ/2022 Tahun 2022 tentang Komite Kepatuhan. Tugas komite ini berfungsi merencanakan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan peningkatan kepatuhan Wajib Pajak pada tingkat Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Alangkah baiknya, komite ini memiliki landasan filosofis kerja sebagai teman wajib pajak dari pada polisi wajib pajak.
Lebih dari itu hal yang kurang dari komite ini adalah seharusnya berani memeriksa petugas pajak yang tindak tanduknya merugikan pajak secara kelembagaan. Maksudnya, komite juga mengemban tugas sebagai polisi rahasia yang mengawasi, memata-matai tindak tanduk keseharian ASN pajak.
Ia mengemban tugas inspektorat, mirip seperti tim khusus Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP atau UKP4) yang pernah dibikin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengawasi kerja kementerian tempo dulu. Ini penting dan saya kira akan efektif.
Penguatan inspektorat sangat diperlukan untuk meminimalisir kejadian seperti Gayus dan Rafael, dimana pengawasan tidak berhenti pada kinerja ASN, tetapi menelisik ke dalam hingga gaya hidup. Kalau petugas pajak saja dengan seenaknya bisa memburu wajib pajak dari unggahan medsos, mengapa mereka tumpul untuk melakukannya pada aparatnya sendiri?
Pembuktian Terbalik
Siapa bilang ASN pajak tidak boleh kaya? Punya jeep Rubicon, Alphard, hingga Harley Davidson? Punya duit Rp 56 miliar untuk pensiun. Tidak fair mengatakan mereka, sebagaimana buruh negara menikmati hasil kerja untuk mendapatkan gaya hidup yang menyenangkan.
Hitungan tim financial plan CNBC Indonesia Research, seorang ASN Pajak bisa saja memiliki barang-barang mewah itu, dengan skema investasi yang pas.
Yang tidak boleh adalah mendapatkannya itu dengan cara relasi kuasa, suap, korupsi dan sebagainya. Tentu saja boleh seorang anak orang kaya bekerja di Ditjen Pajak. Namun, yang tidak beretika adalah mengumbarnya itu ke publik. Untuk itu, parameter paling adil untuk mengukurnya adalah nilai kewajaran. Wajarkah seorang ASN pajak memiliki harta sekian.
Ide pembuktian terbalik patut untuk didengungkan ulang, dimana ASN, khususnya Pajak yang memang mendapatkan remunerasi jumbo reformasi kelembagaan Kementerian Keuangan harus membuktikan dari mana asal kekayaan yang mereka miliki. Ini perlu diinformasikan ke publik.
Selama ini kewajiban pembuktian terbalik masih diterapkan pada kasus tindak pidana korupsi, pada pasal Pasal 37, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ada baiknya, semangat pasal ini diterapkan pada kewajiban LHKPN, sehingga publik tidak bertanya-tanya mengapa harta seorang pejabat bisa sebesar itu.
Penerapan pembuktian terbalik harta kekayaan ASN akan efektif mencegah penyelewengan kekuasaan, karena mempersempit ruang yang bersangkutan untuk menyembunyikan hasil kejahatan. Kasus Sambo membuktikan, bagaimana dengan mudahnya aparat penegak hukum mengakali LHKPN yang sudah merupakan langkah bagus namun pasif.
Bukankah selama ini wajib pajak juga sudah diminta untuk mengungkapkan harta dan asal duit mereka di SPT, mengapa hal yang sama tidak dilakukan, dan seharusnya lebih mendalam diterapkan kepada aparat pajak. Dengan begini, reformasi perpajakan akan lebih menyentuh level bawah, dan semua lapisan aparat tanpa menunggu ada kasus seperti Rafael.
Viralnya kasus penganiayaan David ini harus dijadikan momentum bagi semua penyelenggara negara dan keluarganya untuk tidak lagi memamerkan gaya hidup mewah di ruang publik.
Beberapa waktu lalu, gaya hidup mewah anggota kepolisian juga menjadi sorotan ketika terjadi kasus kecelakaan yang menewaskan seorang mahasiswi di Cianjur.
Seorang anggota polisi berpangkat Kompol memiliki mobil mewah yang secara logika tidak cocok dengan gaji bulannya. Ini pun harus menjadi warning bagi institusi kepolisian untuk terus berbenah menegakkan integritas anggotanya sebagai aparat penegak hukum. Ini belum melihat dari asas kepantasan.
Menjadi kaya tidak dilarang oleh peraturan apa pun di negeri ini. Tapi memamerkan gaya hidup mewah bagi pejabat negara dan keluarganya adalah sebuah tragedi matinya hati nurani.
Bayangkan, pamer kemewahan dilakukan di saat masih banyak rakyat Indonesia yang masuk kategori dalam garis kemiskinan dengan penghasilan di bawah Rp 50.000 per hari.
Bagaimana mereka bisa menjalani hidup, mememuhi kebutuhan sandang, pangan dan papannya yang tidak menentu setiap hari.
Sementara di atas sana para pejabat dan keluarganya tampil perlente setiap hari dengan gaya berbusana mewah, kendaraan seharga miliaran, liburan mahal ke luar negeri dan seterusnya. Tentu ini sangat menyakitkan perasaan publik.
Jika publik sudah sakit, mereka akan sulit percaya bahwa para penyelenggara negara yang suka pamer itu bisa menjalankan kewajibannya mengurus rakyat dengan baik. Jadi para pejabat dan keluarnya segera hentikan pamer gaya hidup mewah.
Perbanyaklah berempati karena masih banyak rakyat yang berjuang hidup mati sekadar untuk memenuhi kebutuhan sehari hari. (IA/dbs)