Gaya Hidup Mewah Keluarga Pejabat Pajak Gerus Kepercayaan Masyarakat
Paling tidak setelah ‘bom atom’ Gayus Halomoan Partahanan Tambunan atau biasa dikenal sebagai Gayus Tambunan, memporak-porandakan wajah Ditjen Pajak. Polanya sama, arogansi yang membuat publik geram, bagaimana dulu dengan rambut palsu Gayus yang masih dalam status tahanan bisa menyaksikan pertandingan tenis Commonwealth Bank Tournament of Champions 2010 di Bali. Tentu masih hangat di ingatan bagaimana halte bus depan kantor pusat Ditjen Pajak dijuluki kenek metromini sebagai ‘halte gayus’.
Wajah Buram Pajak di Mata Rakyat
Ada komentar terkait kasus ini singkat dan padat; jadi makin malas lapor SPT, buat apa? Mereka ini bukan tidak mau bayar, ada yang rajin bayar pajak, tetapi kasus ini membuat ia merasa kehilangan relevansi harus melapor pada institusi yang citranya buruk. Citra Pajak sudah 12-12 dengan kepolisian pasca kasus Sambo. Sudah tukang tagih, eh, keluarganya suka pamer kekayaan, dan terbukti memang kaya sekali.
Harta kekayaan Rafael yang cuma eselon II itu setara dengan pucuk pimpinan Kementerian Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang untuk mendapatkannya sampai perlu menjadi ‘TKW’ di Bank Dunia. Pola masyarakat memandang aparatur negara itugebyah uyah, mengenelasir, seperti misalnya, kalau Gayus yang pangkatnya saja III saja bisa kaya raya begitu ya wajar sih yang lebih tinggi kaya juga. Yang lebih parah lagi, asumsi ini ditudingkan ke semua ASN pajak.
Betul kiranya komentar pertama Ditjen Pajak Suryo Utomo bahwa ulah setitik rusak susu sebelanga, dimana kasus Rafael ini mencoreng muka 45 ribu ASN pajak. Tapi saya ragu, benarkah Rafael ini cuma setitik. Saya menduga banyak sekali Rafael-Rafael lain yang dengan relasi kuasanya sangat mudah memperoleh kekayaan. Saya tidak punya bukti, tapi saya menduga Rafael hanya sebuah puncak gunung es.
Bukankah akan lebih mudah bagi aparatur yang dengan kekuatan super bisa mudah membongkar kekayaan orang, untuk menyembunyikan hartanya sendiri. Contoh saja Rafael, mobil jeep Rubicon dan Harley Davidson anaknya tak tercatat di LHKPN. Jadi selama ini, Menkeu Sri Mulyani mungkin bisa menskrining orang-orang dekatnya, selevel dirjen tetapi bagaimana dengan eselon III dan II dan I?