JAKARTA — Jaksa Agung ST Burhanuddin mengingatkan jajaran kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tidak hanya berintegritas dan profesionalisme, namun juga berhati nurani untuk mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan dan dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.
Hal ini disampaikan Jaksa Agung saat memberikan pengarahan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan beserta pejabat utama Kejati Sumsel, dan kepada para Kepala Kejaksaan Negeri se- Sumsel beserta jajarannya di aula Kejati setempat Kamis (25/11).
“Penggunaan hati nurani dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangan telah saya tuangkan dalam poin 2 perintah harian Jaksa Agung pada peringatan HBA ke-61, dimana sudah secara jelas saya katakan gunakan hati nurani dalam setiap pelaksanaan tugas dan kewenangan, dimana arti penting dan tujuannya adalah penegakan hukum yang dilakukan bukan hanya memenuhi nilai kepastian untuk mencapai keadilan, namun juga kemanfaatan dari penerapan hukum itu sendiri untuk mencapai keadilan yang hakiki.
Restorative Justice lahir, karena saya ingin kehadiran jaksa di tengah masyarakat tidak hanya memberikan kepastian dan keadilan, tetapi juga kemanfaatan hukum.
Penegakan hukum harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, karena hukum ada untuk menjawab kebutuhan masyarakat, sehingga apabila penegakan hukum dipandang tidak memberikan kemanfaatan bagi masyarakat, maka itu sama dengan hukum telah kehilangan rohnya.
Jaksa Agung RI menyampaikan, salah satu contoh penegakan hukum yang tidak mampu menyerap rasa keadilan yang tumbuh di dalam masyarakat adalah kasus yang baru-baru ini terjadi di Kejaksaan Negeri Karawang, dimana tuntutan Jaksa tersebut nampak sekali telah mengabaikan rasa keadilan dan kemanfaatan sehingga menimbulkan kegaduhan.
“Saudara sekalian tentunya terkejut dengan langkah ekstrem yang saya lakukan, mulai dari tindakan eksaminasi, mencopot Aspidum, menarik penanganan perkara, dan menuntut bebas. Perlu saudara sekalian ketahui bahwa tindakan itu terpaksa saya ambil, karena jaksa-jaksa saya di bawah ternyata tidak profesional dan tidak peka.”
“Kalian harus ingat bahwa atribut kewenangan yang ada pada kalian adalah pendelegasian kewenangan dari saya, yang sewaktu-waktu bisa saya cabut manakala kalian saya nilai tidak cakap dalam mengemban tugas dan kewenangan itu.”
Semangat dan ruh dari Pedoman Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum adalah memberikan kepercayaan penuh kepada Kajari sebagai pengendali perkara, sedangkan Kajati sebagati quality control, dan Kejaksaan Agung sebagai evaluator.
Artinya adalah seharusnya penanganan perkara lebih mampu menyerap rasa keadilan di lingkungan masyarakat setempat, karena pengendalian perkara berada di tangan para Jaksa yang ada di lingkungan tersebut.
“Saudara sekalian bercermin dari peristiwa di Karawang, saya minta Kajati dan Kajari dapat mengevaluasi dan memonitor pemahaman dan kepatuhan para Aspidum dan Aspidsus serta Kasi Pidum dan Kasi Pidsus terhadap Pedoman Nomor 3 Tahun 2019 tersebut.”
Jaksa Agung RI mengingatkan kepada seluruh pejabat di lingkungan Kejaksaan agar betul-betul membaca dan memahami semua peraturan, pedoman, dan edaran Jaksa Agung yang ada, karena kepatuhan saudara terhadap berbagai ketentuan yang dibuat pimpinan merupakan cermin loyalitas saudara terhadap pimpinan, Jaksa Agung menutup pengarahannya terkait integritas, professional dan berhati nurani. (IA)