Sang Paman Anwar Usman Dipecat dari Ketua MK, Gibran Tetap Jadi Cawapres
JAKARTA — Majelis Kehoramatan Mahkamah Konsititusi (MKMK) memecat Anwar Usman sebagai Ketua MK.
Pemecatan ini merupakan buntut dari hasil sidang etik terhadap sejumlah hakim MK yang dilakukan MKMK.
Anwar Usman dinyatakan melakukan pelanggaran etik berat karena terlibat konflik kepentingan saat memutuskan soal gugatan syarat capres cawapres yang kemudian menguntungkan Gibran Rakabuming Raka.
Lantas setelah Anwar Usman dipecat, bagaimana status Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto?.
Ternyata Gibran Rakabuming tetap dapat ikut Pilpres meski MKMK putuskan sang paman Anwar Usman langgar kode etik berat dan dicopot dari Ketua Mahkamah Konstitusi.
Seperti diketahui, Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK telah membacakan putusan hasil sidang etik terhadap sejumlah hakim konstitusi.
Dalam pembacaan persidangan etik yang dipimpin oleh Ketua MKMK Jimly Ashhiddiqie terdapat sejumlah putusan yang dibacakan.
Di mana terdapat empat putusan yang dibacakan oleh MKMK terkait pelanggaran etik hakim konstitusi.
Dalam putusan itu MKMK menetapkan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman melanggar kode etik berat.
Paman dari Gibran Rakabuming itu terbukti melanggar etik dalam hal konflik kepentingan terkait keikutsertaannya dalam memutuskan perkara syarat Capres dan Cawapres.
Diketahui perkara 90/PUU-XXI/2023 membuat keponakan Anwar Usman yakni Gibran Rakabuming bisa melenggang ikut Pilpres 2024 meski usianya belum 40 tahun.
Dengan pelanggaran etik berat itu Anwar Usman dicopot dari posisi Ketua Mahkamah Konstitusi.
Namun ipar Presiden Jokowi itu masih duduk sebagai hakim konstitusi.
Meski duduk sebagai hakim konstitusi namun Anwar Usman tidak diperkenankan ikut dalam persidangan terkait sengketa Pilpres, Pemilu dan Pilkada.
Lantaran berpotensi akan terbentur konflik kepentingan.
Dilansir Tribunnews.com, MKMK menilai Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
“Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan ketua MK kepada hakim terlapor,” lanjut Jimly.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait batas usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum lewat sidang pleno putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta pada Senin (16/10/2023).
Putusan ini terkait gugatan dari mahasiswa yang bernama Almas Tsaqibbirru Re A dengan kuasa hukum Arif Sahudi, Utomo Kurniawan, dkk dengan nomor gugatan 90/PUU-XXI/2023 dibacakan oleh Manahan Sitompul selaku Hakim Anggota.
Pada gugatan ini, pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Anwar Usman, di dalam persidangan, Senin (16/10/2023).
Sehingga Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi:
“Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”
Namun, putusan tersebut kontroversial. Bahkan, dinilai tidak sah oleh sejumlah pakar, karena adanya dugaan konflik kepentingan antara Ketua MK Anwar Usman dengan keponakannya, yakni putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka (36).
Terkait hal itu, pemohon perkara 90/PUU-XXI/2023, Almas Tsaqqibbiru, merupakan penggemar dari Gibran, yang juga menjabat Wali Kota Solo.
Adapun putusan tersebut diduga memuluskan langkah Gibran maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024 mendatang.
Imbasnya, saat ini MKMK telah menerima sebanyak 21 laporan terkait dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim terkait putusan tersebut.
MKMK juga telah memeriksa semua pelapor dan para hakim terlapor, hingga putusan terkait dugaan pelanggaran etik itu siap dibacakan, pada Selasa (7/11/2023) sore pukul 16.00 WIB, di Gedung MK, Jakarta Pusat.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan sanksi kepada sembilan hakim konstitusi karena melanggar kode etik.
Pelanggaran kode etik tersebut terkait sidang Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia calon presiden dan wakil presiden.
Dalam putusannya, MKMK mengatakan tidak bisa mengoreksi putusan MK berkaitan dengan syarat usia minimal capres-cawapres.
Hal itu terungkap dalam kesimpulan putusan etik pertama yang dibacakan MKMK untuk 9 hakim konstitusi secara kolektif, terkait isu pembiaran konflik kepentingan dan kebocoran rahasia Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
“Majelis Kehormatan tidak berwenang menilai putusan Mahkamah Konstitusi, in casu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023,” dikutip Tribunnews dari Kompas.com, Selasa (7/11/2023).
“Pasal 17 Ayat (6) dan Ayat (7) UU 48/2009 tidak dapat diberlakukan dalam putusan perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi.” (IA)