JAKARTA — Anggota Dewan Pers Ahmad Jauhar mengatakan, acara Mata Najwa yang mewawancarai kursi kosong (monolog) saat narasumber tidak hadir, tidak melanggar kode etik jurnalistik. Seperti diketahui, Relawan Jokowi melaporkan Najwa Shihab terkait wawancara monolog dengan kursi kosong yang dipresentasikan sebagai Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan.
“Dewan Pers melihat fenomena Nana (Najwa) mewawancarai kursi kosong ya bagian dari kreativitas untuk menarik perhatian audiens. Nothing more,” kata Jauhar Selasa (6/10) seperti disiarkan Republika.co.id.
Jauhar melanjutkan, dalam pandangannya apa yang dilakukan Najwa Sihab tidak melanggar kode etik jurnalistik (KEJ). “Saya rasa tidak ada Pasal dari KEJ yang dilanggar Nana,” ujar Jauhar.
Menurut Jauhar, seharusnya Relawan Jokowi sebagai pelapor berdiskusi terlebih dahulu dengan Dewan Pers sebelum melakukan pelaporan kepada kepolisian. Apalagi yang dilaporkan ujarnya, berkaitan dengan konten jurnalistik.
“Ini kan urusannya berkaitan dengan konten jurnalisme, yang seyogianya lah untuk diselesaikan di Dewan Pers. Kalau dibawa ke Polisi, terkesan mengkriminalisasi. Kan ada UU Pers No. 40/1999,” jelasnya.
“Yang ngelaporin itu kurang kerjaan. Masa, sindiran terhadap tokoh publik dikriminalkan,” ucapnya.
Sementara itu, Marah Sakti Siregar, tenaga ahli Dewan Pers yang membidangi Pendidikan dan Pengembangan Profesi Kewartawanan, berpendapat Najwa Shihab tidak melakukan pelanggaran KEJ (Kode Etik Jurnalistik) dalam tayangan Mata Najwa: Wawancara kursi kosong (Menkes Terawan Agus Putranto).
“Itu adalah opini kritik seorang wartawati terhadap narasumbernya. Seorang pejabat publik yang terus menghindari atau enggan memberikan penjelasan terkait tupoksinya,” kata mantan wartawan senior Tempo ini, yang pernah menjabat sebagai Direktur Sekolah Jurnalisme Indonesia PWI Pusat.
Padahal, kata Marah Sakti, korban rakyat Indonesia yang meregang nyawa, sakit dan menderita akibat wabah penyakit COVID-19 terus bertambah setiap hari. Mengapa Menkes lebih banyak diam dan tidak memberi penjelasan? Dilarang bicara oleh presiden?
“Jelaskan, dong. Najwa sebagai wartawan berhak mendapatkan jawaban tangan pertama (first hand information) atas peristiwa (tragedi) besar yang di lingkup Indonesia yang sejatinya menjadi tupoksi Menkes. Pejabat publik boleh dong dikritik wartawan/pers jika kinerjanya jeblok dan merugikan rakyat. Jika keberatan, Menkes bisa meminta Dewan Pers untuk memeriksa kinerja Najwa Shihab,” jelas Marah Sakti.
Pihak lain yang keberatan sepanjang mau melakukan koreksi dipersilakan melapor ke Dewan Pers, lanjutnya. Kata Marah Sakti, apakah wawancara kursi kosong di program Mata Najwa itu masuk kategori karya jurnalistik?
“Saya sependapat dengan Dahlan Iskan. Lewat wawancara kursi kosong (Menkes Terawan Agus Putranto), Najwa Shihab telah mencerahkan dunia jurnalistik. Khusus di Indonesia. Perlu ditambahkan begitu. Soalnya wawancara kursi kosong (narasumbernya absen, alias tidak duduk di kursi) seperti dilakukan Nana,” ujar Marah Sakti.
Wawancara kursi kosong, ujarnya, sebelumnya sudah pernah dilakukan pewawancara di beberapa program news TV arus utama di dunia. Sebut saja seperti Sky News atau MSNBC. Tahun 2019, lanjut Marah Sakti, wartawati senior Sky News Inggris, Kay Burley, melakukan wawancara kursi kosong (seyogianya diisi Ketua Partai Konservatif Inggris James Cleverly yang tidak datang ke studio Sky News memenuhi janjinya, padahal wawancara sudah akan dimulai.
Kata Marah Sakti, sebelumnya pada tahun 2012, host senior Laurence O’ Donnel juga melakukan hal sama di program TV The Last Word terhadap pengacara Craig Sooner untuk suatu perkara pembunuhan yang menarik perhatian publik. Sooner yang sudah janji mau datang mendadak batal hadir padahal waktu wawancara sudah disiapkan.
“Jadi, di negara demokratis dan persnya bebas, apa yang dilakukan Najwa Shihab lewat Mata Najwa, adalah hal biasa. Sebuah ‘cubitan’ kritis untuk narasumber, apalagi dia pejabat publik, yang abai atau tertutup atas informasi publik,” kata Marah Sakti Siregar.
Sebelumnya, pelapor yang mengaku dari Relawan Jokowi Bersatu tiba di Polda Metro Jaya. Ketua Umum Relawan Jokowi Bersatu, Silvia Devi Soembarto mengatakan, apa yang dilakukan Najwa dengan mewawancarai kursi kosong adalah melukai relawan pendukung Jokowi.
“Kejadian wawancara kursi kosong Najwa Shihab melukai hati kami sebagai pembela presiden. Karena Menteri Terawan adalah representasi dari presiden Republik Indonesia Joko Widodo,” ujar Ketua Umum Relawan Jokowi Bersatu, Silvia Devi Soembarto, saat ditemui di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Selasa (6/10).
Najwa Sihab juga dianggap melakukan cyber bullying terhadap Menteri Kesehatan Terawan. Karena narasumber tidak hadir kemudian diwawancarai dan dijadikan parodi. Silvia menganggap parodi tersebut merupakan tindakan yang tidak boleh dilakukan kepada pejabat negara, khususnya menteri.
“Dalam KUHP Perdata dan Pidana ketika bicara dengan jurnalistik memang kami memakai UU pers tetapi juga dilaporkan secara perdata dan pidana melalui pengadilan atau kepolisian. Ketika sama-sama mentok kita ke dewan pers, untuk meminta arahan,” terang Silvia. (IA)