Yusril: Perjanjian Helsinki Tak Jadi Rujukan Status Empat Pulau Sengketa Aceh-Sumut
JAKARTA, Infoaceh.net – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa Perjanjian Helsinki tidak dapat dijadikan dasar hukum dalam menentukan kepemilikan empat pulau yang kini dipersengketakan antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.
“Enggak, enggak masuk. Undang-Undang 1956 juga enggak, kami sudah pelajari,” kata Yusril saat ditemui di Sawangan, Depok, Minggu, 15 Juni 2025.
Menurut Yusril, baik Perjanjian Helsinki maupun UU Pembentukan Provinsi Aceh Tahun 1956 tidak mengatur secara spesifik status empat pulau yang kini dipersoalkan, yaitu Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang.
Ia menjelaskan bahwa penetapan batas wilayah belum tercantum dalam undang-undang tersebut, dan isu tapal batas baru mencuat seiring pemekaran wilayah pascareformasi.
Yusril menambahkan bahwa pihaknya akan berbicara langsung dengan Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) dan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution dalam waktu dekat untuk mencari solusi damai atas polemik ini.
Pernyataan Yusril sekaligus membantah pandangan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang pekan lalu menyebut Perjanjian Helsinki dan UU Nomor 24 Tahun 1956 sebagai rujukan hukum atas kepemilikan empat pulau tersebut oleh Aceh. JK mengutip pasal dalam Perjanjian Helsinki yang menyatakan perbatasan Aceh merujuk pada batas wilayah 1 Juli 1956.
Yusril menegaskan bahwa hingga kini belum ada keputusan final dari pemerintah pusat mengenai status wilayah empat pulau tersebut.
“Yang ada barulah pemberian kode pulau-pulau yang memang tiap tahun dilakukan, dan pengkodean empat pulau yang terakhir memang didasarkan atas usulan Pemerintah Sumut. Itu dituangkan dalam Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025,” jelas Yusril.
Ia menekankan bahwa pemberian kode bukan berarti penetapan wilayah, sebab keputusan resmi baru dapat dilakukan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri).
Yusril mengimbau para pihak termasuk politisi, akademisi, ulama dan tokoh masyarakat agar menyikapi isu ini dengan tenang.
“Batas wilayah yang belum disepakati menjadi tugas Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut untuk diselesaikan bersama. Setelah itu, barulah Mendagri menetapkan Permendagri mengenai batas darat dan laut antarprovinsi,” lanjutnya.
Yusril juga mengingatkan bahwa kedekatan geografis tidak menjadi satu-satunya dasar penentuan wilayah. Ia mencontohkan kasus Pulau Natuna, Pulau Miangas, dan Pulau Pasir, yang secara geografis dekat dengan negara tetangga, tetapi secara historis dan hukum masuk wilayah Indonesia atau sebaliknya.
“Pulau Miangas lebih dekat ke Filipina, tapi masuk Indonesia. Pulau Natuna lebih dekat ke Malaysia, tapi wilayah kita. Jadi, sejarah dan hukum internasional juga harus diperhatikan,” tutup Yusril.