Aceh Sudah Berdamai, Hentikan Hasrat Mengulang Konflik!
Oleh: Drs. M Isa Alima*
Aceh tidak asing dengan luka. Negeri di ujung barat Indonesia ini pernah berdarah karena kehormatan, berjuang karena harga diri, dan bertahan karena keyakinan.
Tapi yang harus kita pahami bersama: perjuangan yang paling suci adalah ketika kita memilih damai, meski memiliki semua alasan untuk terus marah.
Aceh bukan nama biasa. Ia adalah simbol ketangguhan. Sejak Islam pertama kali berlabuh di Peureulak dan Samudra Pasai, hingga masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam, negeri ini telah menorehkan babak penting dalam sejarah Nusantara.
Aceh menjadi tempat ulama dimuliakan, perempuan diberdayakan, dan kemerdekaan diperjuangkan—baik secara spiritual maupun fisik.
Namun sejarah juga mencatat sisi kelam. Penjajahan membawa perlawanan. Perlawanan membawa korban. Dan ketika kemerdekaan tiba, luka baru justru muncul: ketidakadilan, ketimpangan, dan pengabaian. Rakyat Aceh kembali bangkit menuntut hak-haknya. Tapi tuntutan berubah jadi konflik, dan konflik berubah menjadi trauma.
Konflik Bersenjata dan Generasi yang Retak
Selama bertahun-tahun, Aceh menjadi ladang konflik bersenjata. Nyawa hilang, rumah hancur, keluarga terpisah. Anak-anak tumbuh dalam ketakutan.
Malam-malam sunyi dipenuhi suara tembakan, dan pagi hari disambut kabar kematian.
Apa yang tersisa dari masa itu? Luka, trauma, dan generasi yang bertanya: apakah tanah ini milik kami?
Konflik bukan hanya merenggut nyawa, tapi juga harapan. Dan yang lebih menyedihkan, ada pihak-pihak yang hari ini mencoba menggali kembali lubang lama. Mereka meniupkan api pada bara yang mulai padam. Mereka bicara soal keadilan, tapi sembunyi di balik kepentingan pribadi. Mereka memutar narasi lama, seakan damai adalah kelemahan.
Tsunami: Bencana yang Membawa Kesadaran
Semua berubah pada 26 Desember 2004. Ketika tsunami datang dan meluluhlantakkan Aceh, bukan hanya rumah yang rata dengan tanah—tapi juga ego, kemarahan, dan dendam. Dalam duka itu, kesadaran bersama lahir: bahwa tidak ada masa depan dalam konflik.
Dan dari puing-puing itulah lahir MoU Helsinki 2005. Sebuah perjanjian damai yang bukan sekadar hitam di atas putih, tapi simbol kesediaan untuk menyudahi pertikaian. Damai itu diperjuangkan. Ia bukan hadiah dari luar, tapi keputusan bersama yang dibangun dari rasa kehilangan, kepedihan, dan harapan.
Damai Bukan Akhir, Tapi Titik Awal
Kini Aceh sudah berdamai. Tapi apakah semua selesai?
Belum. Damai adalah titik awal perjuangan baru: membangun, mendidik, memperkuat ekonomi, merawat budaya, dan membentuk generasi baru yang tidak mewarisi dendam.
Namun di tengah jalan ini, godaan muncul. Ada segelintir pihak yang ingin memanfaatkan ruang kosong. Mereka ingin mengulang cerita lama. Mereka ingin membawa Aceh kembali ke masa konflik, hanya karena kekuasaan, kepentingan, atau nostalgia kelam.
Kepada mereka kami ingin berkata tegas:
Aceh sudah berdamai. Hentikan hasrat mengulang konflik.
Jangan ajari anak-anak kami cara membenci.
Jangan wariskan dendam kepada generasi baru.
Generasi Baru Tidak Perlu Senjata
Anak-anak Aceh hari ini tidak lagi bertanya siapa lawan mereka. Mereka bertanya bagaimana caranya menjadi cerdas.
Mereka ingin belajar, kuliah, menciptakan teknologi, menulis buku, dan membangun negeri. Mereka ingin bangga sebagai orang Aceh yang berkontribusi, bukan sebagai korban masa lalu.
Jangan rusak pikiran mereka dengan cerita heroik yang berlumur darah. Jangan giring mereka masuk ke dalam lubang sejarah yang telah kita tutup dengan susah payah. Generasi baru Aceh tidak butuh senjata. Mereka butuh pengetahuan, lapangan kerja, literasi, internet cepat, dan ruang berekspresi.
Damai Adalah Warisan Paling Bernilai
Aceh hari ini masih jauh dari sempurna. Tapi setidaknya, kami telah mengambil langkah penting: memilih damai.
Ini bukan proses yang mudah. Banyak yang dikorbankan. Tapi damai adalah warisan terbaik yang bisa kami serahkan kepada anak cucu kami.
Kelak ketika mereka membaca sejarah dan bertanya,
“Mengapa dulu kalian bertikai?”
Kami ingin menjawab,
“Agar kalian tidak perlu mengalaminya lagi.”
Dan ketika mereka bertanya,
“Apa yang kalian wariskan pada kami?”
Kami ingin menjawab,
“Kami mewariskan damai. Damai yang tidak mudah. Damai yang diperjuangkan. Tapi damai yang indah.”
Pilihan Kita Hari Ini Menentukan Masa Depan
Aceh tidak boleh kembali mundur. Jangan biarkan narasi dendam mengaburkan cita-cita. Jangan biarkan nostalgia kelam merusak masa depan yang sedang kami bangun dengan susah payah.
Kita sudah terlalu lama menangis. Kini saatnya kita tersenyum.
Aceh sudah berdamai.
Dan kami tidak akan membiarkan siapa pun mengulang luka itu lagi.