Oleh: Muhammad Nasir Djamil*
KABAR tentang meninggalnya Ismail Haniyyah di Teheran, Iran dengan cepat menyebar di grup-grup WhatsApp. Lelaki berbadan besar dan memiliki brewok putih itu syahid akibat serangan Zionis Israel, yang memang telah lama ingin menghabisi nyawanya.
Pejuang yang telah hafal Al-Quran sejak usia dini itu pernah menjadi Perdana Menteri Palestina versi HAMAS, sebuah gerakan perlawanan yang ingin mengembalikan kedaulatan tanah dan Bangsa Palestina dari penjajah Zionis Israel.
Kepergian Ismail Haniyyah yang juga Kepala Biro Politik HAMAS bersama salah satu anggota tim keamanannya tersebut tentu saja membuat kita berduka dan semakin memburatkan kenyataan bahwa Zionis Israel akan terus berupaya membunuh dengan cara apapun lawan-lawan politiknya.
Bagi Zionis Israel, HAMAS bukan hanya ingin menguburkan mimpi mereka mendirikan negara Israel Raya, tapi juga akan membuat mereka terhina.
Saya belum beruntung dibandingkan rekan-rekan kolega di DPR RI yang pernah bertemu langsung dengan Ismail Haniyyah. Tahun 2009 saat berkunjung ke Ramallah, kota penting bagi Palestina yang terletak di Tepi Barat dan berbatasan dengan Kota Al-Birah di sebelah timur, serta Yerusalem di utara.
Saat itu, saya yang ikut dalam rombongan Pimpinan MPR RI hanya bertemu dengan Perdana Menteri Mahmoud Abbas dan anggota parlemen Palestina. Waktu itu, kami ingin masuk ke Jalur Gaza tapi tertutup jalan ke sana dengan alasan keamanan.
Informasi dari anggota DPR RI yang pernah bertemu Ismail Haniyyah, almarhum adalah pribadi yang sederhana, bersahabat dan rendah hati. Ia adalah pejuang sejati untuk mewujudkan negara Palestina merdeka.
Siapa Ismail Haniyyah ?
Bagi pemerhati Timur Tengah dan aktivis gerakan Islam, Ismail Haniyyah telah menjadi ikon perjuangan bangsa Palestina. Ia bahkan ikut langsung dalam barisan Brigade Al-Qassam, sayap militer HAMAS, yang memang menguasai Jalur Gaza.
Bagi pemimpin HAMAS, kematian dengan kesyahidan adalah cita-cita. Itu sebabnya mereka tidak pernah takut tampil di depan umum saat dibutuhkan.
Pertanyaan, apakah pemimpin-pemimpin HAMAS itu tidak takut dibunuh oleh Zionis Israel, adalah hal yang sering bersarang dalam hati setiap orang yang mengikuti perjuangan Palestina.
Ismail Haniyyah bernama lengkap Ismail Abdussalam Ahmad Haniyyah. Lelaki yang menghabiskan masa kecil hingga remaja di kemah pengungsian akibat imbas penjajahan Zionis Israel, adalah kelahiran 23 Januari 1963.
Sejak menjadi mahasiswa di Universitas Islam Gaza, jurusan Sastra Arab, ia memimpin gerakan mahasiswa bernama “Barisan Islam”. Gerakan ini menjadi satu embrio lahirnya Harakah Muqawwamah Islamiyah atau yang sering disingkat HAMAS.
Hidup dalam melawan penjajahan Zionis Israel membuat ia kerap keluar masuk penjara. Tahun 1987 ia dipenjara oleh penjajah karena bergabung dan terlibat dalam gerakan Intifadhah.
Setelah bebas, setahun kemudian ia dijebloskan kembali selama enam bulan. Tahun 1989, karena bergabung dengan HAMAS, ia pun kembali masuk penjara. Setelah bebas, ia diasingkan ke Kota Maroj Zuhur, sebelah selatan Lebanon. Ia kembali ke Gaza pascaperjanjian Oslo tahun 1993.
Tahun 2006 adalah tahun yang manis bagi Ismail Haniyyah. Partai Al Ishlah yang ia pimpin memperoleh suara terbanyak pada pemilu parlemen Palestina. Tahun itu juga ia menjadi Perdana Menteri. Namun, secara sepihak Mahmoud Abbas membubarkan pemerintahan Haniyyah. Padahal ia baru setahun menjadi perdana menteri. Begitupun, ia tetap menjalankan pemerintahan.
Keinginannya untuk menghadirkan perdamaian dibuktikan dengan pengunduran diri secara resmi dari jabatan perdana menteri. Itu ia lakukan demi tercapainya persatuan politik antarfaksi di Palestina.
Itu terjadi di tahun 2014 dan dikenal sebagai “Tahun Rekonsiliasi Nasional Palestina”. Setelah itu, Ismail Haniyyah menjadi Kepala Biro Politik HAMAS.
Percobaan pembunuhan
Seperti yang saya sampaikan di atas soal upaya pembunuhan oleh Zionis Israel terhadap tokoh-tokoh pejuang Palestina (baca: HAMAS) sudah sering dilakukan. Tidak terkecuali terhadap Ismail Haniyyah.
Pada 6 September 2003, Zionis Israel menyerangnya dengan rudal. Ia selamat dan mengalami luka-luka. Di tanggal 20 Oktober 2006, rombongannya diberondong peluru dan Ismail Haniyyah beserta rekan-rekannya selamat.
Berselang dua bulan setelah itu, 15 Desember 2006, rombongannya kembali diberondong peluru. Seorang stafnya syahid dan lima lainnya mengalami luka berat.
Tahun 2014, penjajah Zionis Israel membombardir rumah Ismail Haniyyah dengan rudal di kemah pengungsian Al-Shanti hingga rata dengan tanah.
Setelah gagal membunuhnya, pada akhir 2006, ia dicekal masuk Gaza oleh Zionis Israel setelah melakukan safari politik ke berbagai negara dalam kapasitasnya sebagai perdana menteri.
Yang paling akhir, di tahun ini, 14 anggota keluarganya dibunuh oleh Zionis Israel. Saat itu Ismail Haniyyah berada di Qatar dalam rangka membicarakan gencatan senjata antara HAMAS dan Zionis Israel paska Operasi Badai Al Aqsha pada 7 Oktober 2023.
Di penutup bulan Juli 2024, Allah ternyata lebih mencintai Ismail Haniyyah. Ia menemui kesyahidannya di Bumi Persia. Sejak tahun 2019 hingga kematiannya, ia harus tinggal di Turki dan Qatar.
Sehari setelah menghadiri pelantikan Presiden Iran Masoud Pezeshkian, saat berada di tempat peristirahatannya, Ismail Haniyyah diserang dengan menggunakan “proyektil berpemandu udara”. Innalillaahi Wainna Ilaihi Raji’un.
“Janganlah kamu mengira orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Wallaahua’lam.