Ayah dan Keteladanannya
Seperti itulah ayah sejak dulu. Dia tidak mau merepotkan anak-anaknya. Padahal, sedikit pun aku merasa tidak terbebani. Dia juga tidak mau merepotkan tetangga yang apabila mendengar tetangga lain sakit langsung berbondong-bondong menjenguknya.
Tradisi anjangsana, berlisaturahim di desa seperti menjenguk orang sakit sudah mandarah daging. Ayah termasuk orang yang menjaga dan turut melestarikan tradisi itu. Semua kelurga baik yang tinggal satu desa maupun lain desa pernah dikunjunginya. Aku masih ingat betul ketika diajak ayah bersilaturahim ke rumah pakde.
Rumah pakde berjarak sekitar tiga kilometer dari tempat tinggalnya. Jarak tidak menjadi penghalang ayah bersilaturahmi. Ayah berjalan kaki sambil menggendongku di punggung.
“Ayah, capek,” kataku kala itu.
“Sini naik ke punggung,” pintanya.
Aku segera melompat ke punggung ayah dan merasakan betapa kuat niat dan tenaga ayah untuk bersilaturahim. Dia mampu berjalan sambil menggendongku di belakang menyusuri jalan becek dan berlumpur.
“Aku tidak pernah merasa ayah merepotkanku. Aku siap dan ikhlas menjaga ayah di rumah sakit sampai sembuh,” kataku.
Ayah bergeming. Dia sedikit pun tak menunjukkan kesediaan berobat ke rumah sakit. Dia memilih dirawat di rumah dengan obat-obatan yang dibeli di warung kelontong. Padahal, obat tanpa resep dokter itu juga berbahaya. Bisa salah obat dan menyebabkan sakit semakin parah.
“Aku tidak enak sama tetangga,” jawabnya dengan jujur.
Nah, rupanya ini yang menjadi penyebab kenapa ayah tidak mau berobat ke rumah sakit. Dia malu menjadi beban tetangga yang menjenguknya ke rumah sakit.
“Ayah sering menjenguk famili atau tetangga yang sakit, kan? Ayah selalu datang dengan membawa oleh-oleh. Bahkan, kalau tidak ada barang bawaan saat menjenguk, ayah ke pasar dulu membeli pisang atau pepaya. Apakah waktu itu ayah terbebani?”
“Tidak. Aku tidak terbebani sama sekali karena itu kewajiban kita sebagai manusia, sebagai tetangga.”
“Nah, para tetangga juga demikian. Mereka ingin berbuat baik kepada ayah. Kalau ayah menolak karena merasa membebani mereka, berarti ayah menghalang-halangi orang berbuat baik. Yang perlu ayah pikirkan saat ini adalah kesembuhan dan kesehatan ayah. Tentang tetangga kita pikir belakangan. Bagaimana? Kita berangkat untuk berobat ke rumah sakit.”