Ayah dan Keteladanannya
“Kalau begitu, terserah kalian. Aku pasrah,” kata ayah yang membuat aku dan adik-adik tersenyum lega.
***
Penjaga rumah sakit menghampiri kami yang baru turun dari mobil sambil mendorong kursi roda. Tubuh ayah yang kurus kupapah bersama adik lalu kududukkan pelan-pelan di kursi roda. Kami berjalan menyusuri Lorong rumah sakit menuju tempat pendaftaran pasien. Setelah semua data pasien kuberikan kepada petugas, kami diarahkan ke ruang pemeriksaan.
Tubuh ayah yang ringkih kubopong seorang diri lalu kurebahkan di ranjang pemeriksaan. Seorang dokter memeriksa kondisi ayah dengan teliti. Tubuh kurus telentang di ranjang itu terguncang-guncang karena batuk. Dokter mengangkat stetoskopnya dari dada ayah agar bisa batuk tanpa penghalang. Dokter mengulangi pengecekan kesehatan ayah dengan lebih teliti.
“Perwakilan keluarga silakan ikut ke ruang saya,” kata dokter.
“Baik, Dok,” sahutku sambil berjalan mengikuti dokter.
Raut dokter tampak cemas. Dia seperti terbebani mengeluarkan kata-kata kepadaku. Dalam benakku, ini pasti ada hubungannya dengan penyakit yang diderita ayah.
“Bapak ini punya hubungan apa dengan pasien?”
“Anak kandung, Dok,” jawabku tegas.
“Dari hasil pemeriksaan, ayah Bapak mengidap TBC yang menyerang di paru-paru. Pasien harus menjalani rawat inap beberapa hari ke depan,” kata dokter.
“Baik, Dok. Kami sekeluarga siap mengikuti arahan dokter demi kesembuhan ayah.”
Aku segera keluar dari ruangan untuk menyampaikan pesan dokter kepada adik-adikku yang menunggu ayah di ruang observasi. Adik-adikku bisa menerima arahan dokter yang baru kusampaikan. Mereka menyadari bahwa arahan dokter itu pasti yang terbaik buat kesembuahan ayah.
“Ruang rawat inap sudah siap. Mari kami bantu memindah pasien ruangan,” kata dua perawat yang muncul dari balik kelambu ruang observasi.
Aku melihat tubuh ayah yang tergolek lemas di atas brangkar yang didorong dua perawat. Wajahnya pucat dan sayu. Sedangkan di tangan kirinya bergelantung selang infus untuk menyuplai cairan melalui pembuluh darah.
Ayah terdiam. Dia lemas hingga enggan berkata-kata. Dia pasrah kepada anak-anaknya yang terpaksa membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan yang maksimal. Guncangan brangkar melewati Lorong-lorong ruang rumah sakit tak dihiraukannya. Tak ada suara mengaduh atau mengeluh saat roda brangkar melindas kerikil atau lantai yang tidak rata. Air mata ayah tiba-tiba menetes. Aku mendekat dan membisikinya.