BSI Aceh, Mercusuar Perbankan Syariah di Indonesia
Nah, dalam konteks ini pemilihan Aceh sebagai lokasi gedung landmark BSI tentu menjadi sebuah hal yang tepat.
Mengapa demikian?
Jika kita bicara mengenai penerapan prinsip-prinsip syariah di Indonesia secara umum tanpa menyebutkan perihal perbankan, tentu kita akan dengan mudah terbayang dengan Aceh.
Ya, Aceh dengan segala bentuk eksotisme Tanah Rencong beserta semua keistimewaan, keindahan alam dan duka kala dihantam tsunami 26 Desember 2004.
Dengan berlakunya Qanun Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syariat Islam, maka segala sendi kehidupan masyarakat di seluruh wilayah Aceh harus berlandaskan kepada prinsip-prinsip syariah.
BSI di masyarakat juga tidak hanya berperan dalam sektor keuangan dan perbankan saja. Saat ini, BSI juga telah menginiasi “Desa BSI: Bangun Sejahtera Indonesia”.
Desa-desa binaan BSI diarahkan pada komoditas berorientasi ekspor, seperti di Desa Meunasah Asan, Aceh Timur. Desa ini memproduksi bandeng dengan target panen 3 kali setahun, yang diekspor ke Korea Selatan dan Jepang dengan kapasitas produksi mencapai 60 ton per tahun (bankbsi.co.id, 6 September 2022).
Sebuah hal penting untuk ikut menggerakkan perekonomian masyarakat Indonesia agar lebih berdaya dan tidak selalu bergantung pada sektor formal.
Secara sederhana kita dapat menganalogikan bahwa jika Aceh sama dengan tanah syariah, maka BSI sebagai bank syariah terbesar harus “menonjol” dari Aceh.
Maka, tepat jika ikon BSI dibangun di Tanah Rencong. Kehadiran gedung landmark BSI ini diharapkan tidak hanya sekedar sebagai ikon atau simbol semata.
Namun lebih dari itu, BSI Region Aceh diharapkan dapat menjadi sebuah “mercusuar” perbankan syariah di Indonesia bahkan dunia.
Penulis: Muhammad Nur
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Banda Aceh, Kementerian Keuangan