Oleh: Teuku Farhan*
Pada Jumat sore (18/09/2020), saya mengikuti takziah bersama teman-teman Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh dan Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di rumah Almarhum Haji Harun Keuchik Leumiek, kawasan Simpang Surabaya Gampong Lamseupeung Kecamatan Lueng Bata, Kota Banda Aceh.
Usai shalat Ashar di Masjid Haji Keuchik Leumiek, untuk pertama kalinya saya menyempatkan diri ziarah ke makam almarhum “Ayahanda” Haji Harun Keuchik Leumiek yang lokasinya ternyata tidak jauh dari masjid indah yang dibangunnya tersebut.
Beliau adalah seorang saudagar emas yang tak selesai kuliahnya di Fakultas Ekonomi Unsyiah. Namun kebijaksanaan dan adab yang dimilikinya sulit dicari tandingannya dibanding akademisi masa kini.
Beliau juga seorang budayawan senior dan kolektor benda bersejarah Aceh. Kecintaannya pada sejarah dan budaya Aceh dibuktikan dengan berbagai koleksi benda bersejarah dan manuskrip langka.
Juga diterbitkannya berbagai karya buku dengan tema warisan kebudayaan Aceh. Sosok multi talenta ini juga dikenal sebagai wartawan senior Aceh yang memimpin kantor Harian Analisa perwakilan Aceh dan juga menjadi pembina di Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI), sebuah organisasi komunitas wartawan yang sangat beliau banggakan dan beliau sebut-sebut di berbagai kesempatan.
Beginilah jika jiwa seorang yang merdeka, berbagai potensi yang dimilikinya membawa keberkahan pada sesama.
Pupus sudah rencana yang saya tunda sekian lama untuk mewawancarai beliau untuk bahan penerbitan Majalah Sicupak dengan topik “Jejak Benda Bersejarah Penanda Hubungan Aceh dan Turki.”
Saat-saat terakhir beliau berbangga hati dapat berpartisipasi dan mendukung program Gerakan Imam Milenial (GIM). Pada pidato peluncuran GIM (2019), beliau teringat suatu masa beliau dibawa ayahnya (Haji Keuchik Leumiek) ke negeri Kedah – Malaysia, dimana banyak warga Aceh yang dikirim ke sana untuk menjadi imam dan pengajar agama.
Sebagai penasehat GIM bersama sahabatnya Prof Rusjdi Ali Muhammad, beliau berharap program ini terus dilanjutkan sampai anak-anak muda Aceh layak dikirim menjadi imam di seluruh dunia.
Program GIM ini diluncurkan di Masjid Haji Keuchik Leumiek, masjid yang baru beberapa tahun dibangun seluruhnya dengan biaya pribadinya dan menjadi salah satu objek wisata Islami favorit di Aceh sebelum masa pandemi covid-19
Sebelum masa pandemi, “tempat hiburan” favorit beliau adalah masjid dan aneka acara keislaman tingkat nasional yang dibiayainya sendiri.
Mulai dai kondang, Ustadz Abdul Somad sampai qari internasional pernah beliau hadirkan demi memberi contoh dan mensyiarkan “hiburan” Islami kepada masyarakat Aceh.
Saya juga baru tahu ternyata beliau murid sekaligus sahabat kakek saya, Drs. M Ali Muhammad. Beliau cerita panjang lebar ketika mendengar nama kakek.
Melihat kuburan beliau, saya terpana, inikah kubur saudagar emas yang dermawan dan terpandang itu? Mungkin kalau di Jakarta, orang seperti beliau akan dikuburkan di Sandiego Hills.
Tapi beliau dikuburkan di pemakaman umum yang sederhana, hanya berjarak seratus meter dari Masjid Haji Keuchik Leumiek. Sungguh Ayahanda, sampai wafat pun engkau membuat kami terpana. Aceh tidak kehilangan tokoh tapi kehilangan sosok bijaksana yang pandangannya layak dimintai dan diikuti.
Semoga beliau husnul khatimah, mendapat tempat yang istimewa di sisi Allah SWT atas amal jariyah yang telah beliau warisi selama hidup di dunia yang fana ini. Al Fatihah.
Darussalam, dalam hujan malam,
Jumat (18/9/2020)