Catatan Ilham Bintang: Indonesia Menangis, Tiada Lagi Prof Azyumardi Azra
“Dua puluh menit sebelum pesawat mendarat, saat saya, istri dan pak Azra sedang bercakap tiba-tiba pak Azra batuk tanpa henti, tubuhnya berkeringat dingin. Saya minta dia minum air mineral. Saya memijat tubuhnya yang keringat dingin lalu meminta pramugari memasang selang oksigen di hidung dan mulut. Meski selang terpasang sesak nafasnya tak berhenti, malah tubuhnya bergerak ke kiri ke kanan di atas kursi pesawat.
Ketika pesawat parkir dan pintu pesawat dibuka menurunkan penumpang, saya dan istri mengurus kesehatan pak Azra yang diminta turun belakangan. Saya dan istri gelisah dan cemas melihat kesehatan pak Azra. Tidak lama sesudah itu kami bertiga turun dengan selang oksigen dan dibawa segera ke bed panjang perawatan lalu dilarikan ambulans ke rumah sakit. Saya sempat merogoh tas tenteng Pak Azra mencari telpon, tapi karena bingung dan panik lambat ketemunya.
Akhirnya istri saya menelpon temannya staf khusus Menteri Sosial meminta bantuan mengabarkan ke istri atau keluarga pak Azra.
Saya sampaikan ke istri antar dan temani Pak Azra demi keselamatan dan keamanan. Kita bantu sekuat kita ke RS di Kuala Lumpur.
Istri saya, Reni Sitawari Siregar, mengantarkan hingga ke dalam ambulans untuk dilarikan ke rumah sakit, sedangkan saya urus imigrasi di bandara,” kisah Prof Budi Agustono.
Tanpa Swab
Indonesia, seperti halnya Malaysia telah menghapus keharusan Swab Antigen/PCR untuk perjalanan luar negeri. Kondisi itu membuat penumpang pesawat yang terpapar Covid dalam kategori orang tanpa gejala ( OTG) sulit terdeteksi.
Baru sepekan lalu, Pemerintah Malaysia menghapuskan larangan memakai masker di dalam ruangan.
Saya mengenal Prof Azyumardi cukup lama. Ia pernah menjadi Wartawan Panji Masyarakat (1979-1985). Kesamaan isu atau topik yang kami bahas dalam tulisan masing-masing semakin mengeratkan hubungan.
Semasa pandemi Covid kami intens berkomunikasi. Usia kami sama-rentan terpapar Covid, sehingga mengatur sebaiknya beraktivitas dari rumah saja.
Suatu hari di tahun lalu, anak cucunya tertular Covid. Ia mengontak saya meminta dicarikan Ivemertin, obat cacing yang terkenal itu. Yang dipercaya sebagian masyarakat bisa melawan virus Covid. Masa itu, obat tersebut sangat sulit mencarinya, harganya di pasaran ikut dimainkan karena diburu banyak orang, meski dilarang pemerintah untuk digunakan menyembuhkan Covid. Kebetulan saya memiliki stok, maka saya kirimlah ke beliau.