Cuan Basah dari Aset Hotel Prodeo: Truk Rutan Sabang Disulap Jadi Mesin Uang
Oleh: Andi Armi*
DI ujung jalan sempit yang seolah mengantar pada sunyi dan sepi, berdiri gagah namun lesu sebuah truk tangki enam roda berwarna biru kusam. Catnya mengelupas dimakan waktu, karat menjalar seperti urat luka pada besi yang terlupakan. Ia bukan sembarang kendaraan ia milik negara, milik rakyat, dan mestinya bertugas di balik tembok yang penuh jeruji dan asa pembinaan.
Namun, di balik kelam warnanya, terselip cerita tentang air yang mengalir bukan hanya ke beton proyek, tapi juga ke ladang tanda tanya publik.
Truk tangki milik Rumah Tahanan Kelas IIB Sabang itu diduga tak lagi hanya mengangkut kebutuhan internal lembaga, melainkan telah menyeberang batas fungsi, menjadi kendaraan niaga yang melayani proyek pembangunan Pelabuhan Perikanan Ie Meulee, Sabang.
Yang mengemudi, kata warga, bukan petugas berseragam. Sopirnya diduga orang luar. Dan uang hasil peluh mesin ini yang mestinya kembali untuk mendukung tugas negara disebut masuk melalui jalur koperasi pegawai, di bawah bendera sakti bernama Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Itu bagian dari koperasi. Kita setor ke kas negara sebagai PNBP. Ada aturannya,” ujar Kepala Rutan, Muhidfuddin, saat dikonfirmasi, Rabu (18/6/2025).
Namun ketika diminta menunjukkan terang regulasinya, sang kepala justru menghindar dari cahaya. Ia menyebut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.06/2020, namun tak menjelaskan bagaimana aturan itu menjustifikasi penyewaan kendaraan operasional untuk proyek luar pagar.
Padahal, menurut para ahli tata kelola negara, pemanfaatan aset publik mesti tunduk pada aturan eksplisit, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Negara bukan ladang pribadi yang bisa ditanami dalih dengan pupuk koperasi. Apalagi jika kendaraan yang digunakan berasal dari uang rakyat, bukan milik pribadi.
Keluhan pun mengalir dari para pelaku usaha lokal. Beberapa sopir air bersih swasta mengaku kehilangan pendaptan karena beroperasinya “truk biru” itu tak mungkin mereka saingi.
Truk negara, dengan solar subsidi dan tanpa kewajiban pajak usaha, tentu punya kaki yang lebih panjang di medan persaingan.
“Ini bukan soal harga semata. Ini soal keadilan. Kami usaha dari nol, bayar izin, bayar pajak. Tapi harus bersaing dengan negara?” keluh seorang pengusaha air bersih lokal.
Dari titik ini, isu tak lagi soal teknis pengangkutan air, melainkan potret nyata bagaimana praktik abu-abu bisa lahir dari balik jeruji besi. Aset publik digunakan dengan dalih koperasi, uangnya diklaim sebagai PNBP, tapi jejak aturannya samar, dan dokumennya tak kunjung muncul ke permukaan.
PNBP: Dalih atau Topeng?
PNBP sejatinya adalah kanal sah penerimaan negara dari layanan publik, termasuk di lingkungan pemasyarakatan. Tapi apakah menyewakan truk untuk mengangkut air ke proyek pemerintah masuk dalam daftar tersebut? Dalam regulasi, belum ada yang menyebutkannya secara eksplisit.
Sejumlah pakar menyebut, jika semua kegiatan institusi dibenarkan atas nama PNBP tanpa batasan tegas, maka tak mustahil besok lusa ruang tahanan bisa disulap jadi kamar inap darurat, dan seragam sipir disewakan sebagai kostum karnaval.
Fakta lapangan menunjukkan air yang diangkut bukan dijual ke warga umum, melainkan khusus untuk satu proyek, yakni pembangunan SKPT Ie Meulee. Tapi apakah itu membenarkan penggunaannya? Tidak juga.
Yang jadi sorotan adalah status truknya, status pengelolanya, dan arah aliran dananya.
“Ini bukan soal airnya dibawa ke mana. Tapi siapa yang mengoperasikan, dengan izin apa, dan uangnya masuk ke mana,” ujar sang sopir yang tidak ingin namanya disebut.
Menyibak Kabut Koperasi
Koperasi pegawai bisa menjadi ruang ekonomi sehat jika dijalankan sesuai jalur. Tapi tak sedikit pula yang menjadikannya semacam “kendaraan dalam kendaraan” untuk menyelundupkan praktik-praktik yang tak tersentuh audit publik. Apalagi jika koperasi itu mengelola aset negara, namun tidak memiliki izin niaga air bersih, tidak mengikuti tender, dan tidak transparan dalam pembukuannya.
Kontraktor proyek, tentu lebih memilih pemasok air yang murah dan cepat. Namun bila efisiensi itu dibangun di atas aset negara tanpa izin niaga, tanpa beban pajak usaha, dan tanpa kontrol akuntabilitas, maka yang lahir bukan kompetisi sehat, melainkan distorsi pasar.
Sampai berita ini disusun, pihak Rutan Sabang belum juga memberikan keterangan resmi lebih lanjut. Tak ada rilis, tak ada klarifikasi mendalam, tak ada perincian alur dana atau landasan hukum detail yang menjelaskan penyewaan truk tersebut.
Yang ada hanya keheningan.
Keheningan yang justru mengundang lebih banyak tanda tanya daripada jawaban. Dan di tengah derasnya arus wacana pemberantasan penyimpangan tata kelola, pertanyaan pun mengapung.
Dan sementara itu, truk biru itu tetap berjalan. Mengalirkan air ke proyek, dan sekaligus mengalirkan isu ke ruang publik. Airnya mungkin jernih. Tapi narasinya keruh. Sangat keruh.