Foto:
Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud bersama pimpinan DPRA
Oleh: Ghazali Abbas Adan
Sungguh sangat “antik” bahasa yang digunakan almukarram walmuhtaram anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) ketika menyoroti postur anggaran refocusing APBA 2020.
Yang saya maksudkan dengan bahasa antik adalah kata “buta”. Seperti dalam satu pernyataan Anggota DPRA, Rabu (30/09/2020), “Dana JKA Tidak Ada Dalam Refocusing APBA, Pemerintah Aceh Buta Skala Prioritas”.
Betapa selama saya sebagai anggota parlemen di Senayan belasan tahun belum pernah saya mendengar anggota parlemen RI menyampaikan bahasa yang “antik” demikian ketika menilai dan mengontrol kenerja pemerintah.
Agaknya bahwa Aceh sebagai salah satu daerah di Indonesia dengan rupa-rupa kekhususan, sehingga penggunaan bahasa “antik” mungkin merupakan bagian dari kekhususan Aceh itu.
Padahal, menurut saya sebagai mitra sejajar eksekutif dan legislatif dalam rangka kebersamaan sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing berusaha dan bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, sejatinya antara kedua lembaga ini bertutur dengan bahasa yang normal belaka, tidak perlu dengan bahasa “antik” demikian.
Mungkin anggota yang terhormat itu yang sangat sadar sebagai representasi rakyat, niscaya rakyat menilai dia sangat pro-rakyat maka bahasa demikian merupakan artikulasi nyata dari semangat dan karakternya yang pro-rakyat itu.
Apalagi berkaitan dengan anggaran Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) sebagai salah satu kebutuhan yang amat sangat penting dalam rangka menjamin anggaran untuk menjaga dan melindungi kesehatan 2,1 juta rakyat Aceh itu. Wallahu ‘alam.
Apabila memang anggota parlemen Aceh benar-benar pro-rakyat dan postur APBA itu disusun sesuai skala prioritas yang sangat dibutuhkan rakyat dan setiap sennya harus dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat, mengapa pula tidak menunjukkan konsistensi dengan hal demikian dalam berbagai sisi dan aspeknya.
Contohnya anggaran untuk Malik Mahmud yang jumlahnya puluhan miliar setiap tahun yang dialokasikan melalui postur APBA, apakah ini termasuk skala prioritas.
Apabila setiap sennya harus dapat memberi manfaat kepada rakyat, maka berdasarkan fakta, timbul pertanyaan di sisi dan aspek kinerja Malik Mahmud itu, apa manfaatnya untuk rakyat.
Dan faktanya pula, sejauh yang saya ketahui anggota parlemen Aceh tidak pernah secara transparan dan gagah berani mempertanyakannya, apalagi memanggil Malik Mahmud ke gedung parlemen Aceh melakakukan rapat dengar pendapat (RDP) mempertanyakan kinerjanya sesuai tupoksinya sebagaimana sudah baku tertulis dalam UUPA dan Qanun berkaitan dengan Lembaga Wali Nanggroe.
Juga berkaitan dengan sosok dan karakter Wali Nanggroe Aceh yang wajib independen sebagaimana UUPA dan Qanun itu. Tetapi faktanya Malik Mahmud sangat partisan.
Sebagai pemersatu, dia tenang – tenang saja dan tidur nyenyak di tengah-tengah gemuruh hiruk pikuk dan “dinamika” hubungan eksekutif dan legislatif yang kerap terjadi di Aceh. Juga harapan rakyat banyak di Aceh keliling seluruh teritori Aceh untuk tampil sebagai imam dan khatib Salat Jum’at menyampaikan taushiyah untuk pengamalan dan penegakan syariat Islam kaffah, ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah insaniyah, persatuan dan kesatuan dalam kehidupan rakyat Aceh yang heterogen di Aceh, namun sepanjang yang saya ketahui, inipun tidak pernah dilakukan oleh Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe.
Berdasarkan fakta-fakta ini, inheren dengan garang dan gagah berani Anggota DPRA ketika menyorot kinerja Pemerintah Aceh, dengan bahasa “antik” saya harus katakan, bahwa parlemen Aceh rabun melihat kinerja Malik Mahmud, sehingga tetap menyediakan anggaran baginya puluhan miliar setiap tahun.
*Penulis mantan Anggota Parlemen RI