Ekonomi Dalam Islam Bagian Dari Agama
Oleh: Dr. Hafas Furqani, M.Ec*
Sore itu, Sir Muqtasid dikelilingi mahasiswa dan teman-temannya minum kopi di sebuah warung kopi di pinggiran Kota Banda Aceh. Ketika sedang asyik ngobrol, tiba-tiba Syamsul, mahasiswa Pascasarjana yang dikenal pendiam dan hanya ngomong pada tataran ilmiah bertanya: “Sir Prof” panggilan akrab beliau, “Kalaulah ekonomi Islam itu ada, kemana bisa kita tarik dasarnya?”
Pertanyaan itu agak mengganggu Sir Muqtasid yang sebenarnya ingin santai sambil cerita-cerita ringan saja. Akan tetapi pertanyaan ini penting dan harus dicari jawabannya. Banyak orang mempunyai pertanyaan sama seperti Syamsul.
“Ekonomi Islam”, jelas Sir Muqtasid yang berubah wajahnya menjadi serius “berkembang seiring dengan perkembangan Islam. Perkembangan Islam pula berjalan seiring dengan perkembangan manusia. Jadi kalau ingin ditarik garis, sejarah ekonomi Islam bisa dilihat sampai sejarah awal kehidupan manusia, ketika Nabi Adam AS diturunkan ke muka bumi!”.
“Wah, jauh sekali,” celetuk awal yang agak heran dan terlintas dalam fikirannya apakah yang dikatakan gurunya ini benar atau beliau hanya mengkhayal saja. “Bukankah ekonomi Islam baru populer akhir-akhir ini saja?” tanya mahasiswa yang baru diterima di program Pascasarjana ini yang sering melihat gurunya berkhayal sambil menggaruk-garukkan kepala.
“Begini”, lanjut Sir Muqtasid, “Ekonomi dalam Islam adalah bagian dari agama. Islam sebagai agama mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk aspek ekonomi dengan memberikan pedoman, nilai-nilai pegangan dan arah tujuan. Ekonomi Islam karena itu itu lahir ketika Islam sebagai agama itu muncul.”
“Allah SWT menurunkan Islam bersama turunnya Nabi Adam AS ke muka bumi sebagai panduan menjalankan tugasnya sebagai Khalifah. Setiap Nabi yang diutus Allah SWT setelah Nabi Adam AS juga mengajarkan Islam dan syariat Islam yang menjadi pedoman agar hidup menjadi teratur dan tidak salah arah sepanjang umur manusia di bumi ini. Termasuk urusan-urusan ekonomi”.
“Karena itu, seluruh kehidupan dalam sejarah kenabian, bisa menjadi dasar dan inspirasi dalam pengembangan ekonomi Islam. Jika kehidupan ekonomi identik dengan tingkah laku aktivitas duniawi yang dilakukan sehari-hari oleh manusia sebagai individu maupun masyarakat, Para Nabi telah mencontohkan itu dengan sempurna dengan panduan wahyu ilahi yang paripurna,” jelas Sir Muqtasid dengan bersahaja.
“Bukan itu saja, melihat pentingnya peran Nabi dalam membangun peradaban manusia, pembabakan sejarah umat manusia karena itu harus mengikuti pembabakan diutusnya Para Nabi”. Demikian kata Sir Muqtasid sambil mengingat kembali Syarahan yang disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas ketika melaunching bukunya yang berjudul “On Justice and the Nature of Man” pada 23 Januari 2016 di Dewan Utama, UTM, Kuala Lumpur yang diikutinya suatu ketika dulu.
Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengkritik pembabakan sejarah peradaban manusia yang sering ditandai dengan lahirnya dinasti kerajaan dan raja-raja besar mengikut ukuran materialisme manusia. Kerajaan tersebut menurutnya telah menciptakan peradaban kosong, hampa, tidak mengenal Tuhan sehingga hilang esensi kemanusiannya sebagai hamba Tuhan dan Khalifah-Nya.
Walaupun capaian bangunan atau kebudayaan dalam bentuk materil sangat maju, tetapi ukuran kemajuan bukan pada dimensi itu. Di samping itu, pembabakan seperti itu juga mengaburkan peran Nabi sebagai pemberi peringatan kepada para raja tersebut yang kebanyakannya tidak mengenal Tuhan bahkan angkuh menganggap dirinya Tuhan.
Karena itu, pembabakan peradaban manusia, dan juga umur manusia di muka bumi, harus mengikuti periode kenabian, yang dimulai dari Nabi Adam AS dan diakhiri Nabi Muhammad SAW.
Periode kenabian ini menjadi penting dalam sejarah peradaban manusia karena seperti yang digambarkan oleh Prof. Fazlur Rahman, dalam bukunya Tema Pokok al-Qur’an (1983) bahwa “Tugas pokok para Nabi adalah menjagakan hati nurani manusia agar senantiasa dapat membaca apa yang di sampaikan Allah SWT melalui wahyu dan apa yang telah terpahat dalam hatinya dalam bentuk perjanjian primordial sebelum dilahirkan ke dunia yang mengakui ke-Esa-an Allah SWT tetap terjaga.”
“Ekonomi Islam yang merupakan bagian dari ajaran Nabi-nabi, karena itu bisa kita namakan sebagai Ekonomi Profetik. Dilihat dari spiritnya, ini artinya, Ekonomi Profetik membawa misi kenabian dan mengaplikasikan ajaran tersebut dalam kehidupan ekonomi,” kata Sir Muqtasid dengan mantap.
Sir Muqtasid kemudian menjelaskan: “Al-Qur’an sendiri dalam banyak tempat memberikan contoh ekonomi profetik. Lihat bagaimana Al-Qur’an menceritakan kisah Nabi Adam dan nasihat bagi manusia untuk mampu mengendalikan keinginannya. Keinginan yang tidak terbatas dan dibalut hawa nafsu telah menggelincirkan manusia kepada kesalahan dan kezaliman.
Nabi Ibrahim AS mengajarkan pengatur dan pengendali alam ini, termasuk yang memberi makan dan kelimpahan hidup adalah Allah SWT, bukan Raja Namrud. Kemewahan hidup membawanya kepada kezaliman yang melampaui batas dengan mengaku Tuhan.
Nabi Ismail mengajarkan sikap berkorban, saling berbagi, tolong menolong sesama manusia. Kekayaan bukan untuk dinikmati sendiri, tetapi dikeluarkan untuk kepentingan sesama manusia.
Nabi Yusuf pula mengajarkan kebijakan mengatur perekonomian Mesir sebagai bendahara negara di kala musim subur dan paceklik.
Lihat juga bagaimana kesabaran Nabi Ayub menghadapi ujian hilangnya harta, kekayaan dan keturunan yang menandakan bahwa pemilik segala sesuatu adalah Allah SWT. Alam dan harta ditundukkan kepada manusia (taskhir) dalam kerangka amanah dan tanggung jawab.
Kemudian, lihat juga ajaran Nabi Syu’aib yang memperingatkan perilaku curang para pedagang yang ingin keuntungan jangka pendek dengan merugikan orang lain.”
“Pada akhirnya, puncak ekonomi Profetik tergambar dengan jelas dalam kehidupan dan ajaran Nabi Muhammad SAW. Kehidupan Baginda sedari muda tidak terlepas dari aktivitas perekonomian sebagai penggembala domba dan kemudian pedagang bersama Khadijah. Nabi Muhammad SAW diutus sebagai Rasul di tengah masyarakat Mekkah yang digambarkan Al-Qur’an sebagai kaum pedagang yang membawa dagangannya ke Syam dan Yaman. Nabi Muhammad SAW membawa risalah kenabian di tengah maraknya Kapitalisme Jahiliyyah yang menerapkan sistem riba dalam perekonomian dan dominasi orang kaya (kaum kapitalis) terhadap kelompok miskin dan lemah dalam masyarakat”.
Penjelasan Sir Muqtasid kelihatannya sudah agak panjang. Tetapi Syamsul masih kelihatan bingung. Dengan wajah lugu ia bertanya kembali: “Mengapa perlu ada istilah Ekonomi Profetik?”
Sir Muqtasid kembali merespon pertanyaan ini. “Begini, sebenarnya Ekonomi Profetik bukan bentuk lain dari Ekonomi Islam, ini hanya untuk mengingatkan bahwa ekonomi Islam ini digali dari ajaran-ajaran yang disampaikan para Nabi. Misi ekonomi Islam, adalah membawa misi para Nabi juga. Sejarah hidup Nabi, sikap, perilaku, pandangan dan kebijakannya menjadi inspirasi penting dalam pengembangan ekonomi Islam.”
Selanjutnya, kata Sir Muqtasid “Perjuangan pengembangan ekonomi Islam hari ini, sama seperti yang dihadapi Nabi Muhammad SAW waktu dulu yang dikepung dengan sistem riba dalam aktivitas ekonomi yang merusak tatanan struktur sosial dan mentalitas masyarakat jahiliyyah. Hari ini kita dikepung dengan riba moderen yang digambarkan oleh Rasulullah SAW walaupun kita coba melepaskan sepenuhnya, tetap akan terkena debu-debunya!”.
Jadi, tutup Sir Muqtasid “Kembali ke pertanyaan tadi, kalau mau ditarik garis sejarah ekonomi Islam, ya, bisa ditarik sampai kepada Nabi Adam AS dan juga para Nabi setelah beliau. Ekonomi Profetik arti simpelnya adalah Ekonomi Kenabian yang mengisyaratkan bahwa yang meletakkan dasar fondasi ajaran ekonomi adalah Para Nabi utusan Allah SWT, bukan hasil karya para tokoh ilmuwan, filosof atau pemikir sebagaimana Kapitalisme dan Sosialisme. Ekonomi Profetik artinya kita melanjutkan perjuangan para Nabi”.
Sebelum muncul pertanyaan lain, Sir Muqtasid dengan sigap memanggil pelayan untuk menghitung harga kopi dan kue yang disantap sore itu.
Banda Aceh, 24 September 2020
*Penulis Wakil Dekan I Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Ar-Raniry