Fenomena Salah Urus Anggaran: Rp100 Triliun Menguap, Aceh Tetap Miskin
Oleh: Sri Radjasa Chandra, MBA*
PEMERINTAH Aceh nampaknya tidak pernah belajar dari kelemahan dan kesalahan masa lalu, dalam menggulirkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2025 tepat waktu dan tepat sasaran.
Kesalahan kembali terulang tahun ini, Pemerintah Aceh masih menunjukkan pola lama dalam pengelolaan APBA tahun 2025—lamban, penuh tarik-menarik kepentingan, dan jauh dari harapan rakyat.
Alih-alih menjadi instrumen pembangunan, APBA kembali terjebak dalam permainan elite yang lebih mementingkan proyek ketimbang kesejahteraan rakyat.
Setiap tahun, masalahnya hampir selalu sama: anggaran tersendat karena kepentingan politik, bukan karena kurangnya dana atau ide.
Begitu pula tahun ini, di mana Aceh tercatat sebagai salah satu dari 10 provinsi dengan penyerapan anggaran terendah menurut Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Kondisi ini mempertegas lemahnya perencanaan dan eksekusi di tingkat pemerintah.
Pelaksana Harian (Plh) Gubernur Aceh perlu segera mengambil langkah kongkrit dan strategis untuk memastikan APBA 2025 tidak kembali menjadi sekadar angka di atas kertas.
Aceh menyandang predikat sebagai provinsi termiskin di Sumatera bukan tanpa sebab.
Salah satu penyebab utamanya adalah buruknya pengelolaan anggaran yang terus berulang, diperparah oleh konflik internal antara eksekutif dan legislatif yang sering berebut ‘jatah’ tanpa memikirkan dampaknya terhadap rakyat.
Ini menjadikan Aceh sebagai ironi pembangunan: daerah kaya dana, tapi miskin hasil.
Sejak diberlakukannya dana Otonomi Khusus (Otsus) tahun 2008 lebih dari Rp100 triliun sudah digelontorkan ke Aceh hingga tahun 2024.
Namun kemiskinan tetap membelenggu provinsi berjuluk Serambi Mekkah ini.
Fenomena salah urus anggaran bukan hanya soal teknis, tapi cermin dari mentalitas para pengambil keputusan yang lebih sibuk melayani kepentingan kelompok daripada rakyat.
Inilah akar dari tragedi sosial yang terus berlangsung.
Tragedi kemiskinan adalah tanggung jawab para pemangku kepentingan di Aceh yang sesungguhnya tidak pernah berfikir untuk kemaslahatan rakyat Aceh.