Oleh: Teuku Farhan*
Belakangan ini, publik Indonesia dihebohkan viralnya berita seputar Presiden Türkiye, Recep Tayyip Erdoğan, yang dikabarkan “walkout” dari ruang konferensi saat Presiden RI Prabowo Subianto membuka pidatonya di KTT D-8 di Kairo pada 17-19 Desember 2024.
Berita ini menyebar cepat tanpa diverifikasi dengan benar, memicu spekulasi yang justru memperlebar celah kesalahpahaman, padahal substansi pertemuan para pemimpin negara berkembang dan bersahabat ini jauh lebih penting untuk disorot.
Menurut Kamus Cambridge, kata “walkout” merujuk pada tindakan meninggalkan pertemuan resmi sebagai sebuah kelompok untuk menunjukkan ketidaksetujuan. Istilah ini sering digunakan dalam konteks demonstrasi atau protes.
Tujuan dari seseorang melakukan walk out dalam sebuah pertemuan formal, di antaranya menunjukkan ketidaksetujuan terhadap keputusan, pernyataan, atau situasi tertentu dan mencari perhatian publik atau pihak terkait terhadap masalah yang dianggap penting.
Berdasarkan defenisi tersebut maka “walkout” adalah frasa keliru yang dipilih oleh media yang terkesan melakukan framing dan tendensius karena tindakan Presiden Erdoğan bukanlah bentuk protes untuk menunjukkan ketidaksetujuan apalagi berita ini disampaikan dengan banyak “bumbu” lain yang tidak substantif tanpa konfirmasi dari pihak yang terlibat baik dari Kementerian Luar Negeri Türkiye atau Indonesia.
Narasi ini dengan cepat menyebar, bahkan menghiasi berbagai portal berita arus utama yang katanya independen tepercaya sehingga memicu berbagai spekulasi serta dikutip berbagai media lainnya di media sosial dan akhirnya viral.
Independensi media ini patut dipertanyakan, apa motif di balik mengangkat isu yang tidak berfaedah ini di saat tak ada satupun media international yang mengangkat isu ini.
Yang menarik pada saat yang sama tidak semua media arus utama ikut-ikutan memberitakan isu “hoaks” tersebut dan sabar menanti klarifikasi dari Kementerian Luar Negeri.
Sayangnya, berita ini dilaporkan tanpa verifikasi yang memadai, yang pada akhirnya menciptakan kesalahpahaman yang tidak perlu. Substansi pertemuan tingkat tinggi para pemimpin negara berkembang ini pun kurang tersampaikan demi nafsu viralisme segelintir media.
Mengapa isu walkout ini harus ditangani dengan bijak?
Pertama, perlu dipahami bahwa hubungan antara Indonesia dan Türkiye selama ini berada pada kondisi yang sangat baik dan semakin kuat, bahkan Presiden Erdoğan menyebut Presiden Prabowo dengan sahabat terkasih saat beliau dilantik menjadi Presiden RI ke-8.
Kedua negara memiliki kerja sama di berbagai bidang, mulai dari ekonomi, pertahanan hingga pendidikan, dan pertemuan antara Presiden Prabowo dan Presiden Erdoğan di KTT D-8 berlangsung dalam suasana yang penuh persahabatan.
Keduanya bahkan duduk berdekatan dalam acara makan siang setelah konferensi berakhir, yang menegaskan bahwa hubungan mereka sangat positif.
Maka, ketika media besar memberitakan isu walkout tanpa konfirmasi dari pihak terkait, hal itu tidak hanya merugikan kredibilitas mereka sebagai sumber informasi, tetapi juga dapat menimbulkan persepsi yang salah di kalangan publik.
Kita perlu mengakui bahwa berita seperti ini, jika tidak diluruskan, bisa merusak hubungan diplomatik yang telah dibangun dengan susah payah selama bertahun-tahun.
Kementerian Luar Negeri RI kemudian mengklarifikasi tidak ada “walkout” yang dilakukan oleh Presiden Erdoğan. Keluar masuknya delegasi dalam forum internasional adalah hal yang biasa dan tidak terkait dengan ketegangan diplomatik.
“Sifat keluar masuk ruangan meeting adalah hal yang lumrah untuk meeting internasional (termasuk di forum PBB). Sesuai kebiasaan yang berlaku di forum internasional, masing-masing delegasi memiliki hak untuk menentukan kapan ketua delegasinya akan duduk di kursi delegasi atau meninggalkan ruangan” kata Juru Bicara Kemlu RI, Rolliansyah Soemirat, melalui keterangan resmi, pada Ahad, 22 Desember 2024.
Duta Besar Türkiye, Talip Küçükcan juga mengatakan situasi yang sebenarnya sesuai dengan yang telah dijelaskan oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI).
“Menanggapi pertanyaan Anda, saya ingin membagikan penjelasan berikut dari Kemlu yang memberikan perspektif dan informasi yang tepat,” kata Küçükcan kepada CNNIndonesia.com, Ahad (22/12) malam.
Proses ini lazim terjadi karena para delegasi sering kali memiliki agenda lain yang harus dihadiri, seperti pertemuan bilateral dengan delegasi negara lain.
Dengan kata lain, apa yang terjadi selama KTT adalah rutinitas normal dalam diplomasi internasional.
Kasus ini menjadi pengingat serius tentang betapa pentingnya akurasi dalam pemberitaan. Dalam upaya memaksimalkan viralitas, beberapa media mengabaikan tanggung jawab jurnalistik untuk memeriksa fakta.
Peran Media: Mengutamakan Akurasi di Atas Sensasi
Kasus seperti ini mengingatkan kita akan pentingnya profesionalisme dalam dunia jurnalisme. Media, sebagai pilar utama dalam menyebarkan informasi, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa berita yang mereka sampaikan benar-benar akurat dan telah diverifikasi.
Terutama dalam konteks internasional, di mana setiap informasi yang salah bisa berdampak besar pada hubungan antarnegara.
Mengejar sensasi demi mendapatkan klik atau perhatian pembaca adalah langkah yang berbahaya. Ketika media lebih memprioritaskan kecepatan daripada kebenaran, mereka mengabaikan esensi jurnalisme yang bertanggung jawab.
Di era digital, kita sering menyaksikan berita yang lebih mengutamakan kecepatan dan sensasi daripada kualitas dan kebenaran. Fenomena ini tidak hanya berbahaya bagi kredibilitas media, tetapi juga bagi masyarakat yang mengonsumsi informasi tersebut.
Dengan viralnya berita yang belum terverifikasi, hubungan diplomatik yang baik antara Indonesia dan Türkiye bisa terganggu hanya karena framing keliru yang dibuat oleh media.
Diplomasi dan Hubungan Baik: Lebih dari Sekadar Pemberitaan
Türkiye dan Indonesia telah lama menjalin hubungan yang erat, baik dalam ranah diplomasi maupun kerja sama di sektor lain. Hubungan ini tidak hanya melibatkan pemimpin negara, tetapi juga mencakup sektor ekonomi, budaya, dan pendidikan. Karena itu, penting bagi kita semua untuk menjaga hubungan ini tetap harmonis dengan tidak terjebak dalam narasi yang menyesatkan atau berita yang belum terkonfirmasi.
Diplomasi adalah seni yang halus, di mana setiap tindakan atau pernyataan dapat memberikan dampak yang luas. Dalam situasi seperti ini, hoaks atau pemberitaan yang tidak akurat hanya akan mengganggu upaya untuk mempererat hubungan antara negara-negara sahabat.
Ketika media tidak memainkan perannya dengan baik, yang menjadi korban bukan hanya kredibilitas mereka, tetapi juga hubungan diplomatik yang dapat rusak akibat informasi yang keliru.
Di tengah ketidakpastian dan ketegangan global ini, para pihak terutama media diharapkan tidak memperkeruh suasana demi keuntungan sesaat namun memiliki mudharat besar dan mengorbankan kepentingan negara yang lebih besar maslahatnya.
Jangan sampai keuntungan sesaat ini hanya memicu kerugian besar yang turut dirasakan oleh kedua belah pihak tak terkecuali pihak media sebagai salah satu pilar demokrasi.
Publik yang Cerdas: Kritis dalam Menerima Informasi Meski dari Media Besar
Di sisi lain, masyarakat juga harus lebih kritis dalam menyikapi setiap berita yang beredar, terutama di media sosial. Literasi digital dan kemampuan untuk membedakan berita yang valid dari hoaks menjadi semakin penting di era informasi ini.
Publik tidak boleh begitu saja mempercayai setiap narasi yang viral, apalagi jika itu menyangkut hubungan antarnegara.
Klarifikasi dari Kemenlu RI dan Türkiye terkait isu walkout Presiden Erdoğan seharusnya menjadi alarm bagi kita semua.
Publik perlu belajar untuk lebih cermat dalam menyaring informasi yang mereka konsumsi meskipun berasal dari media besar ternama. Jangan biarkan narasi yang menyesatkan, seperti isu walkout ini, mempengaruhi pandangan kita terhadap hubungan antara Indonesia dan Türkiye yang selama ini bersahabat.
Diplomasi internasional bukanlah panggung untuk berita spekulatif. Hubungan erat antara Indonesia dan Türkiye, yang telah terjalin baik, seharusnya dilindungi dari narasi yang tidak berdasar.
Publik perlu lebih kritis, dan media harus lebih bertanggung jawab dalam menyampaikan informasi. Ini bukan sekadar soal kredibilitas, tetapi tentang menjaga keharmonisan hubungan antarnegara yang telah dibangun dengan susah payah.
Akurasi adalah Kunci dalam Hubungan Internasional
Kisah tentang walkout Presiden Erdoğan di KTT D-8 seharusnya menjadi pelajaran penting bagi kita semua, baik itu media, publik, maupun para pemangku kepentingan. Akurasi dan verifikasi informasi adalah elemen utama dalam menjaga profesionalisme dalam jurnalisme.
Media harus lebih bertanggung jawab dalam menyampaikan berita, terutama yang berkaitan dengan hubungan internasional. Di sisi lain, masyarakat juga harus lebih kritis dan tidak mudah terbawa arus berita yang belum tentu kebenarannya.
Hubungan antara Indonesia dan Türkiye adalah aset yang harus dijaga dengan baik. Melalui klarifikasi yang telah dikeluarkan oleh Kemenlu RI dan Türkiye, kita bisa melihat bahwa kedua pemimpin negara memiliki hubungan yang baik dan tidak ada ketegangan sebagaimana yang diberitakan.
Semoga ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa kebenaran jauh lebih penting daripada sensasi, terutama ketika menyangkut hubungan antarnegara yang telah dibangun dengan penuh kepercayaan dan persahabatan.
Sebagai praktisi digital dan keamanan informasi, penting untuk mengingatkan publik agar lebih bijak dalam mengonsumsi informasi. Literasi digital adalah kunci untuk membedakan antara berita yang valid dan hoaks, terutama dalam konteks yang melibatkan hubungan internasional.
Akurasi dan profesionalisme media harus dikedepankan di atas segala kepentingan, karena dampaknya lebih luas dari sekadar viralitas sesaat.
Akurasi adalah fondasi dari kepercayaan. Mari kita jaga tanggung jawab bersama ini dengan menghormati kebenaran dan menjauhkan diri dari sensasi yang menyesatkan.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Masyarakat Informasi Teknologi