Oleh: Muhammad Nasir Djamil*
SENIN, 2 September 2024, sekitar jam delapan pagi waktu Jakarta, saat pergi menuju Gedung DPR RI di Senayan, saya menerima berita dari seorang teman di Aceh. Dalam percakapan telepon itu, ia mengabarkan bahwa rumah Bustami Hamzah, bakal calon Gubernur Aceh yang akan berlaga di Pilkada bulan November mendatang dilempar granat.
Lalu saya mencari berita itu di sejumlah media online. Granat itu meledak, cerita dalam berita itu. Ruang garasi rumah Bustami terlihat berantakan. Sejumlah pot bunga pecah dan berserakan di lantai. Beruntung tidak ada korban jiwa dan luka-luka, tulis media online tersebut. Kejadiannya diperkirakan menjelang atau selesai shalat subuh waktu Aceh.
Pada 14 Juli 2024 lalu, seorang penembak (sniper) menembak calon Presiden Donal Trump saat kampanye untuk pemilihan Presiden Amerika Serikat di Pennsylvania. Trump berhasil selamat dari upaya pembunuhan tersebut meskipun darah terlihat keluar dari telinganya.
Anggota Kongres asal Pennyslvania, Dan Meuser, yang berada di barisan depan pada kampanye tersebut mengatakan kepada wartawan bahwa dia mendengar delapan hingga sepuluh tembakan yang terdengar seperti senjata kaliber 22 atau lebih kecil.
Kedua peristiwa itu memang berbeda. Baik negara maupun level kontestan yang berlaga. Apa yang dialami oleh keduanya kemudian menyebar dengan cepat di media sosial. Beragam komentar pun diberikan oleh netizen.
“Situasi politik Aceh menjelang pilkada mulai memanas,” komentar teman saya yang juga seorang anggota polisi.
Kejadian ini, kata dia, jika tidak diusut tuntas akan menimbulkan spekulasi yang tak berujung. Karena itu aparat polisi harus mendalami secara hukum agar publik mengetahui siapa pelaku dan motifnya sekaligus.
Pertama, kita tentu tidak bisa menerima apa yang terjadi di rumah kandidat Gubernur Aceh Bustami Hamzah. Itu adalah bentuk teror yang nyata. Kekerasan tidak akan pernah mendapat tempat di dalam demokrasi. Cara-cara teror adalah bentuk primitif yang harus dilawan oleh masyarakat modern. Kerasnya persaingan menuju kursi gubernur tidak harus diikuti dengan cara-cara anti demokrasi.
Kedua, teror pelemparan granat telah menimbulkan spekulasi di dalam masyarakat. Siapa pelaku dan apa motifnya kini telah menjadi pembicaraan di tengah warga.
Bahkan di dunia maya pun, dua pertanyaan itu menjadi “top issue”. Mereka yakin bahwa informasi ini sudah sampai ke telinga Presiden Jokowi dan para menterinya.
Pelakunya masih diidentifikasi sebagai orang tak dikenal (OTK). Kondisi sekitar rumah yang tidak memiliki closed-circuit television (CCTV) sangat menyulitkan aparat keamanan untuk mengetahui pelakunya.
Apalagi saat pelemparan, langit masih gelap dan warga kebanyakan belum keluar dari rumah.
Ketiga, agar spekulasi itu menemukan ujungnya, maka aparat keamanan diminta segera membentuk tim forensik. Dari puing-puing dan sisa granat, tim forensik akan mengetahui tahun pembuatan granat dan siapa pemiliknya. Biasanya kalau granat buatan luar negeri ada zat bahan baku dalam kandungan alat peledak yang mirip buah nanas tersebut.
Pembentukan tim forensik sangat dibutuhkan untuk membuka misteri produk dan tahun berapa granat itu dan juga institusi yang memilikinya.
Selain itu, aparat keamanan juga perlu mencari tahu sepeda motor yang dipakai oleh dua pelaku pelemparan. Apalagi kabar terakhir yang saya terima, pin atau kode granat tersebut telah ditemukan aparat keamanan.
Keempat, jika pelaku dan motifnya tidak bisa ditemukan oleh aparat keamanan, maka diperkirakan pilkada akan memanas dan saling curiga antar dua kubu tidak terelakkan. Sebab konstestasi pilgub Aceh hanya menghadirkan dua pasang calon.
Mereka akan “head to head” untuk memenang kursi rencong satu. Banyak cerita yang akan ter-saji jika aparat keamanan tidak mengusut tuntas peristiwa teror itu.
Jangan-jangan publik curiga ini adalah “mainan” tim Bustami Hamzah agar mendapat opini “korban”. Tim Bustami sedang memainkan “playing victim”.
Analisa liar lainnya, jangan-jangan pelemparan itu dilakukan oleh pendukung kubu sebelah. Sebab Ketua DPRA Tgk Abang atau Zulfadli pernah menyebutkan bahwa Bustami Hamzah mengkhianati Mualem, nama populer Muzakkir Manaf, lawan Bustami di Pilkada Aceh 2024.
Pernyataan itu memenuhi halaman media online di Aceh. Karena berkhianat maka harus ditakuti-takuti agar nyalinya ciut dalam Pilkada. Paling tidak, Bustami tidak punya keberanian untuk safari politik di daerah karena trauma dengan pelemparan granat di rumahnya.
Analisa liar lainnya yang dikemukakan oleh publik, jangan-jangan pelakunya memang “orang terlatih”. Tujuannya jelas ingin mengail di air keruh. Ini yang barangkali disebut giat kontra intelijen. Ingin mengabarkan ke Jakarta bahwa kondisi keamanan di Aceh perlu “perhatian” dan jangan biarkan Aceh dipegang oleh kandidat yang tidak “merah putih”.
Jika merujuk kepada kedua kandidat, mereka diusung oleh partai lokal dan nasional. Tentu saja “merah putih” nya tidak diragukan. Karena itu alasan “merah putih” terlalu berlebihan dan diduga kuat dalang peristiwa itu ingin mendapat keuntungan finansial.
Atau jangan-jangan teror itu dilakukan oleh “orang terlatih” tadi dengan maksud agar pusat “membuka” jalan akan hadirnya kontestan lainnya untuk menghindari “head to head” kedua kandidat sebelumnya.
Kelima, sekali lagi, jika kasus ini tidak tuntas maka ada kecurigaan publik tentang netralitas aparat keamanan dan juga negara dalam pilkada di Aceh. Karena itu sejalan dengan fungsinya untuk memberikan perlindungan dan keamanan serta ketertiban, maka polisi harus mampu menuntaskannya.
Tidak sulit bagi polisi untuk menemukan dan menangkap pelakunya. Sarana teknologi informasi dan laboratorium forensik yang dimiliki polisi sudah sangat mampu untuk mengungkap “teror kecil” tersebut.
Jika tidak tuntas maka akan ada kandidat yang diuntungkan dan dirugikan. Tahun 2012 rumah Ruslan M Daud, salah seorang kandidat Bupati Bireuen dilempar granat juga. Akhirnya dia menjadi pemenang.
Jangan sampai ada kelompok yang “lempar batu sembunyi tangan” untuk mengganggu Aceh dengan memanfaatkan momentum pilkada dan kedatangan tamu dari luar yang mengikuti dan berlaga dalam ajang PON XXI.
Bagi polisi, mereka akan mendapat penghargaan tinggi dari masyarakat nasional yang saat ini ada di Aceh, jika mampu mengusut tuntas teror tersebut.
Kapolda Aceh Irjen Pol Achmad Kartiko dan Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Niko Fahrizal perlu mewaspadai bahwa “teror” di awal pilkada 2024 ini adalah “jalan” bagi pihak yang tidak suka dengan keduanya sehingga perlu diganti oleh jenderal lainnya yang kenetralannya tidak diragukan.
Memang terlalu prematur spekulasi ini. Tapi semuanya bisa terjadi sebab Aceh memang kadang sulit untuk ditebak.
Akhirnya menjelang kedatangan Presiden Jokowi beserta rombongan menteri dan pejabat penting lainnya, yang akan membuka PON XXI, aparat polisi kini dituntut bisa membuktikan bahwa pelaku teror bisa ditangkap dan kemudian diadili oleh jaksa penuntut. Ini adalah “ujian” buat Jenderal Kartiko.
Saat peringatan milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di 4 Desember 2023, ia sukses karena tidak ada satu pun bendera bintang bulan yang berkibar. Sebagai orang intelijen, ia sedang ditunggu untuk membuka “kotak pandora” pelemparan granat di rumah kandidat pilkada Aceh. Wallahu ‘alam bissawab
*Penulis adalah Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKS