Oleh: Mansur S*
PASAR usaha jasa konstruksi di Indonesia khususnya di Provinsi Aceh sangat berpotensi untuk meningkatkan pembangunan nasional, dimana kegiatan investasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan sektor swasta setiap tahunnya meningkat.
Namun keterbatasan pelaku usaha konstruksi yang berkualifikasi menengah dan besar serta tata kelola pemerintah di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah yang kurang transparan dan terkesan diskriminatif dikalangan pelaku usaha menyebabkan Provinsi Aceh setiap tahunnya mengalami SilPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) tahun sebelumnya mencapai ratusan miliar bahkan triliunan pada anggaran belanja modal khususnya anggaran pembangunan kontruksi.
Hal ini, berkaitan juga dengan cakupan wilayah Aceh dan jumlah masyarakat yang mesti mendapatkan fasilitas pelayanan publik belum terpenuhi dengan maksimal.
Pemanfaatan potensi pelaku usaha jasa konstruksi oleh Pemerintah di Provinsi Aceh khususnya masih belum memadai, dibuktikan dengan banyaknya pelaku usaha di Provinsi Aceh yang gulung tikar setiap tahunnya dan proses tender pekerjaan jasa kontruksi belum terwujud secara kompetitif melalui proses yang transparan, adil, efisien dan efektif (ekonomis).
Selain itu, peningkatan kemampuan (capacity building) kontraktor dan implementasi kebijakan yang berpihak pada badan usaha jasa konstruksi adalah salah satu barometer untuk peningkatan daya saing profesionalitas yang selama ini belum terwujud maksimal di kalangan pelaku kontruksi swasta.
Harusnya Pemerintah mewujudkan pemenuhan azas nyata terhadap pelaku usaha jasa kontruksi lokal dengan melibatkan usaha jasa konstruksi swasta di daerah yang akan menciptakan lapangan kerja sampai ke pelosok dan menumbuhkan perekonomian masyarakat serta melakukan pembinaan kepada usaha jasa konstruksi swasta daerah agar mampu bersaing pada pangsa pasar regional, pasar domestik dan pasar luar negeri.
Dalam ketentuan Undang-undang Nomor 02 tahun 2017 pasal 4 poin b ditegaskan bahwa tanggung jawab pemerintah pusat “Terciptanya iklim usaha yang kondusif, penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang transparan, persaingan usaha yang sehat, serta jaminan kesetaraan hak dan kewajiban antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa”, jo poin c “Terselenggaranya Jasa Konstruksi yang sesuai dengan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Keberlanjutan.
Terbitnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 52 (halaman 332) yang menegaskan bahwa beberapa ketentuan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi diubah diantaranya adalah Pasal 10 yang berbunyi “Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan kewenangan serta Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan pasal 9 diatur dalam Peraturan Pemerintah.”
Pasal 20 ayat (4) yang berbunyi “Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah”
Pasal 26 yang berbunyi “Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha diatur dalam Peraturan Pemerintah”. Pasal 30 ayat (2) yang berbunyi “Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan registrasi badan usaha jasa konstruksi diatur dalam Peraturan Pemerintah.”
Kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko tersebut meliputi pengaturan perizinan melalui layanan sistem OSS, norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan, tata cara Pengawasan Perizinan, evaluasi dan reformasi kebijakan Perizinan, pendanaan Perizinan, penyelesaian permasalahan dan hambatan Perizinan, serta Sanksi.
Namun Ketentuan Sanksi Administratif yang dikenakan kepada Pelaku Usaha Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terdiri dari 23 Pasal (dari Pasal 415 s/d Pasal 438 ). Ketentuan peraturan pemerintah tersebut menerapkan sanksi kepada pelaku usaha, pengenaan sanksi berupa setor denda sebesar Rp 500.000 (Lima ratus ribu rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000 (Satu juta rupiah) perhari jika pelaku usaha jasa konstruksi terlambat.”
Diantaranya: terlambat melakukan pelaporan penggantian tenaga kerja konstruksi, terlambat melakukan pemenuhan persyaratan minimal jumlah peralatan utama untuk setiap subklasifikasi.
Terlambat melakukan perpanjangan SBU konstruksi. Dan Sanksi Denda lainnya
Dan sanksi tidak sebatas setoran denda administrasi namun dalam waktu yang telah ditentukan pelaku usaha tidak melaksanakan kewajiban sanksi lebih dahsyat lagi akan dikenakan berupa daftar hitam terhadap perusahaan, dan yang lebih spektakuler lagi tidak hanya pelaku usaha yang masuk ke dalam daftar hitam namun PJBU (Penanggung Jawab Badan Usaha) dan PJTBU (Penanggung Jawab Teknik Badan Usaha) juga diikutsertakan ke dalam daftar hitam.
Dan pelaku usaha yang mendapat sanksi di atas tersebut dapat melakukan permohonan kembali paling cepat 3 (tiga) tiga tahun setelah perizinan berusahanya dinyatakan dicabut.
Ketentuan tersebut tertuang secara jelas di pasal 428 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.
Sehubungan dengan dikeluarkan peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko tersebut. Apakah pelaku usaha jasa kontruksi khususnya Provinsi Aceh telah siap dalam menjalankan ketentuan tersebut.
Permasalahan hari ini adalah untuk mewujudkan antara manajemen atau tata kelola sebuah perusahaan kontruksi dengan kepastian pekerjaan di lingkungan pemerintah belum memenuhi asas keadilan dan asas profesionalitas di Provinsi Aceh sebagaimana Jaminan Ketertiban dan Kepastian Hukum yang dijamin oleh Undang-Undang Jasa Konstruksi.
Proses pemilihan penyedia kontruksi yang diselenggarakan oleh pemerintah khusus nya pemerintahan Aceh masih jauh dari harapan ketertiban dan kepastian hukum yang berdasarkan asas kebenaran, keadilan dan profesionalitas usaha jasa konstruksi.
Asas yang dimaksud telah runtuh dan hilang akibat sistem pemufakatan jahat antara oknum salah satu pelaku usaha, oknum politik dan oknum pemangku kepentingan yang menghilangkan keadilan dalam berkompetisi didalam pemilihan penydia dan dampak biaya politik yang tinggi memengaruhi ekosistem pemilihan penyedia yang tidak objektif.
Segala ketentuan Tata kelola Penyelenggaraan Jasa Konstruksi semakin jauh daripada tujuan pemenuhan asas nyatanya. Registrasi dan Sertifikasi hanya memunculkan legalitas di atas kertas atau sistem online dengan segudang sanksi administratif tanpa diringi kepastian hukum persaingan sehat dalam proses pemilihan penyedia untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan bidang usaha nya
Asas kebenaran, keadilan dan profesionalitas badan usaha jasa konstruksi yang diakui seutuhnya oleh masyarakat jasa konstruksi menjadi runtuh dan sirna. Kesuksesan Badan Usaha Jasa Konstruksi dipengaruhi oleh perdagangan pengaruh jabatan/kedudukan, bukan dipengaruhi oleh kebenaran atas profesionalitas jasa konstruksinya yang dijamin oleh Undang-undang jasa konstruksi.
Fakta dan retorika hari ini pelaku usaha menempuh jalur politik dengan berbagai cara untuk mencapai tujuan mendapatkan kontrak kerja di pemerintahan dan mengabaikan ketentuan menerapkan manajemen atau tata kelola terhadap badan usaha jasa konstruksinya sendiri.
Orientasi Kebenaran dan Profesionalitas Jasa Konstruksi menjadi runtuh, berganti dengan orientasi mengejar profit sebanyak-banyaknya dan mengkerdilkan tata kelola manajemen usaha jasa konstruksinya.
Sehingga pelaku usaha jasa konstruksi terbawa arus politik yang tidak berujung, dan hari ini pengusaha jasa kontruksi diwajibkan untuk memenuhi legalitas di atas kertas meskipun pemenuhan asas nyatanya jauh berbeda.
Pemenuhan asas nyata di dalam Undang-undang jasa konstruksi berbanding terbalik dengan peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko. Berikan kepastian hukum terhadap Badan usaha Jasa Konstruksi yang nyata untuk mendapatkan pekerjaan dilingkungan pemerintah secara profesional dengan begitu pengusaha jasa kontruksi dapat ikut serta berkontribusi mewujudkan keberlangsungan dan keberlanjutan pembangunan nasional.
Salam Jasa Konstruksi!
*Penulis adalah Ketua IV Bidang Kelembagaan dan Hukum Badan Pimpinan Pusat Asosiasi Kontraktor Aceh (BPP-AKA)