KPK di Aceh Terjangkit Stockholm Syndrome

Sri Radjasa Chandra MBA (Pemerhati Sosial Politik Aceh)

KORUPSI itu dari rakyat oleh rakyat untuk bangsat, mungkin seperti itulah ungkapan yang tepat untuk slogan lawan korupsi.

Di tengah persoalan korupsi yang menggurita, rasanya tidak ada pilihan kata yang lebih arif untuk mensejajarkan koruptor dengan bangsat.

Harapan rakyat Aceh terhadap kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Aceh, bak meneguk air putih di saat dahaga.

Tapi realitanya kehadiran KPK di Aceh, baru sebatas melakukan pemanggilan para pihak sebagai saksi ataupun yang diduga terlibat kasus korupsi.

Sejak masa kepemimpinan Nova
Iriansyah sebagai Gubernur Aceh, mungkin kita bosan membaca berita tentang KPK memanggil pejabat teras Pemerintahan Aceh, mulai dari Sekda Aceh hingga para kepala dinas Aceh.

Aneh bin ajaib KPK tak mampu mengungkap satupun kasus korupsi di Aceh, walau sudah menjadi rahasia umum begitu banyak bukti-bukti korupsi besar seperti pembangunan Jembatan Kilangan, pengadaan Kapal Cepat,
belum lagi praktek dugaan korupsi di Unit Layanan Pengadaan (ULP) Aceh dengan modus jual beli paket proyek APBA yang mengakibatkan tidak terserapnya APBA.

KPK yang mengemban amanat konstitusi untuk melakukan pemberantasan korupsi secara professional, intensif dan
berkesinambungan dan berperan sebagai trigger mechanism terhadap institusi hukum lainnya agar lebih efektif, hari ini di Aceh sekedar menjadi konsultan pencegahan korupsi.

Fenomena pemberantasan korupsi terkesan abal-abal oleh KPK, dipandang memiliki korelasi dengan semakin suburnya praktek korupsi di tiga institusi eksekutif, legislatif dan yudikatif Aceh.

Mencermati kondisi Aceh aktual dalam hal buruknya pengelolaan APBA, tidak tertutup kemungkinan semakin kuat muncul tudingan, bahwa salah satu penyebabnya karena KPK tidak lagi sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi, tapi telah bergeser menjadi Komisi Pasti Korupsi.

Sesulit apakah untuk mengungkap kasus korupsi di jajaran ULP Aceh, lelang dengan mekanisme E-Katalog di jajaran SKPA Aceh dan Pokir DPRA.

Alangkah naifnya jika KPK dengan reputasi gemilang di masa lalu dan
dengan dukungan dana fantastik, tapi hanya melakukan tugas-tugas
sebagai konsultan pencegahan korupsi.

Hari ini rakyat Aceh memberi “ultimatum” kepada KPK, jika tidak mampu mengungkap dan menangkap pelaku korupsi di Aceh dalam waktu dekat, maka rakyat Aceh semakin yakin bahwa KPK telah memberi andil terhadap semakin akutnya kemiskinan di Aceh, bahkan rakyat Aceh menuduh KPK juga bagian dari aksi penjarahan uang rakyat Aceh.

Oleh sebab itu, rakyat Aceh akan menempatkan KPK sebagai musuh bersama rakyat Aceh. Jangan lagi KPK memainkan sinetron penegakan hukum murahan, untuk mengelabui rakyat Aceh.

Sesungguhnya rakyat Aceh memiliki pengalaman sejarah masa lalu yang amat kelam, ketika harus menghadapi tipu muslihat Pusat, sementara tudingan selalu ditujukan kepada rakyat Aceh ketika menghadapi stigma “penipu”.

Sikap KPK di Aceh yang terkesan lemot, jangan-jangan sudah terjangkit ‘Stockholm Syndrome’, dimana penegak hukum berempati terhadap pelaku kejahatan.

Sebagai pengingat bagi para koruptor, “Korupsi itu enaknya sesaat, tapi malunya sampai ke liang lahat, dosanya ditunggu di akhirat”.

Penulis:
Sri Radjasa Chandra MBA (Pemerhati Sosial Politik Aceh)

Tutup