Malam Takbiran Jadi Panggung Kembang Api: Di Mana Syariat, Wahai Pemimpin?
Oleh: Drs M Isa Alima*
Malam yang seharusnya bergema takbir menyambut Hari Raya Idul Adha 1446 Hijriah, justru telah dihiasi letupan kembang api di Kota Banda Aceh pada Kamis malam (5/6/2025).
Malam yang mulia tersebut karena bertepatan dengan malam Jum’at yang sangat sakral di Aceh, disulap menjadi panggung pesta cahaya kembang api, sesuatu yang selama ini sangat terlarang muncul di kota Banda Aceh.
Di jantung Aceh, di tanah yang mengikrarkan dirinya sebagai Serambi Mekkah, syariat seolah menjadi hiasan kata, bukan napas hidup.
Kami tidak menolak takbiran dan kegembiraan. Namun dalam Islam, gembira ada adabnya.
Gembira yang menjaga kehormatan malam ibadah.
Gembira yang menambah syiar, bukan melukai ruh perayaan.
Pertanyaan kami sederhana, namun mengguncang logika: mengapa saat tahun baru Masehi, Pemko Banda Aceh melarang kembang api dengan alasan mubazir dan banyak mudharat serta tidak sesuai dengan syariat Islam, tetapi pada malam Idul Adha, larangan itu seolah tidak berlaku?
Adakah syariat Islam berubah hanya karena situasi?
Ataukah kebijakan menyesuaikan tekanan budaya yang tak pernah menjadi milik kita?
Ada Apa dengan Pemko Banda Aceh?
Melalui pernyataan terbuka, kami dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Patriot Bela Nusantara (PBN) Aceh, mempertanyakan sikap ambigu Pemko Banda Aceh dalam menegakkan nilai-nilai Islam yang telah menjadi dasar hukum dan martabat daerah ini.
Kami dari PBN Aceh menyayangkan sikap diam Pemko Banda Aceh. Mengapa ketika tahun baru Masehi kembang api dilarang, tetapi saat malam Hari Raya umat Islam dibiarkan bebas meletuskan pesta cahaya? Ini bukan hanya soal kebijakan, tapi soal konsistensi terhadap penegakan syariat.
Kota Banda Aceh adalah miniatur pelaksanaan syariat Islam di Tanah Rencong. Jika Pemko lemah dalam hal mendasar seperti menjaga kekhusyukan malam Hari Raya, maka bagaimana bisa diharap mengawal syariat secara menyeluruh?
Pemimpin, Jangan Jadikan Syariat Sekadar Spanduk dan Slogan!
Banda Aceh bukan kota sembarangan. Ia simbol. Ia panji. Ia wajah Aceh di mata dunia.
Jika di sinilah syariat dibiarkan longgar, maka di mana lagi rakyat akan belajar tunduk?