Oleh: Hendra*
MUSEUM Aceh baru saja memperingati ulang tahunnya yang ke-106 tahun. Umurnya lebih tua dari hari kemerdekaan Indonesia karena Museum Aceh berasal dari Paviliun Aceh yang dihibahkan oleh F.W Stammeshaus pasca pameran Kolonial di Semarang tahun 1914.
Setelah dibawa pulang kembali ke Aceh, setahun sejak itu, tepatnya tanggal 31 Juli 1915 Museum Aceh diresmikan oleh Gubernur Hindia Belanda H.N.A Swart.
Sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Museum Aceh terus beradaptasi dan berkembang. Selama transisi ke Pemerintah Aceh (Indonesia) dilakukan beberapa kali perombakan, pemindahan lokasi dan tentu banyak pembangunan infrastruktur yang dilakukan atas Museum Aceh.
Saat ini, memasuki umur 106 tahun, Museum Aceh memiliki beragam koleksi baik berupa arkeologi, manuskrip, etnografika, seni rupa, geologika, biologika, historika, numismatik dan sebagainya.
Bahkan, dapat dikatakan Museum Aceh memiliki bermacam ragam koleksi sebagaimana tertulis dalam website Museum Aceh.
Pada saat webinar “Peran Museum dalam Mendukung Program Jalur Rempah Aceh” yang dilaksanakan oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) dan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh juga terungkap, sebagaimana pemaparan singkat Kepala Museum Aceh bahwa koleksinya mencapai 6.000 buah koleksi.
Jumlah enam ribu koleksi dalam beragam tipe yang ada di Museum Aceh tentu sangat fantastis. Apalagi Museum yang didanai pemerintah, memiliki SDM unggul dan telah berumur ratusan tahun.
Namun, saat narasumber lainnya, Masykur dari Pedir Museum menyampaikan koleksinya yang telah mencapai 5800 jenis koleksi yang baru berumur 7 tahun saja.
Bahkan, perolehan koleksi Pedir Museum banyak menggunakan dana pribadi dan sebagian donasi masyarakat tanpa syarat, tidak ada bantuan pemerintah.
Jumlah koleksi Museum Aceh dengan Pedir Museum tidak jauh berbeda. Akan tetapi berbeda jauh dari umur berdirinya naskah, pendanaannya, gedungnya dan tentunya juga sumber daya manusianya pun jauh berbeda.
Museum Aceh yang memiliki umur 106 tahun yang cuma memiliki 6.000 koleksi. Tetapi Pedir Museum yang baru seumur tujuh tahun dsnt masih sangat muda, sudah menyimpan 5.800 koleksi, sebagaimana yang disampaikan di dalam webinar tersebut. Maka jika dibandingkan sangat memilukan perolehan koleksi Museum Aceh.
Maka patut dipertanyakan kinerja Museum Aceh. Sebab akan sangat memalukan jika koleksinya hampir sama jumlahnya dengan koleksi pribadi di masyarakat. Padahal Museum Aceh menjadi satu-satunya museum tertua dan mendapat kucuran dana besar dari pemerintah.
Museum yang tugas utama melindungi, mengembangkan dan mengedukasikan masyarakat belum dilakukan seutuhnya.
Jika dilihat fakta di lapangan, banyak benda-benda cagar budaya masyarakat yang dijual ke luar Aceh, baik ke provinsi lain atau ke luar negeri. Kasus dirham-dirham emas yang ditemukan di masyarakat beberapa tahun lalu, keramik, alat-alat perang, atau manuskrip-manuskrip di masyarakat dibeli atau dibawa ke luar Aceh.
Semestinya, sebagai lembaga pemerintah, Museum Aceh harus memiliki ruang lapor untuk koleksi-koleksi yang boleh dijual (dihibah) oleh masyarakat ke Pemerintah Aceh melalui Museum Aceh untuk dikoleksi.
Mengingat masyarakat Aceh kadang tidak mampu dan tidak tahu merawat lagi koleksinya, maka dapat dihibahkan ke Museum Aceh.
Maka muncul ide dalam beragam webinar tersebut dan beberapa diskusi lainnya, sudah saatnya Museum Aceh dibagi menjadi beberapa museum tematik, sesuai dengan tema-tema yang ada di Aceh, sehingga tidak terkesan Museum Aceh sekarang sebagai “Museum Kuah Pliek” yang bercampur aduk koleksinya dan tidak bertambah koleksinya.
*Penulis adalah Peminat Sejarah dan Budaya Aceh