Oleh : Dr H Taqwaddin Husin, SH SE MS
Saya kaget membaca Laporan Dirjen Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, yang menempatkan Provinsi Aceh berada diurutan kelima terbesar dalam hal refocusing APBD (APBA). Secara berurutan adalah : DKI Jakarta (10,6 T), Jawa Barat (8,0 T), Jawa Timur (2,3 T), Jawa Tengah (2,1 T), dan Aceh (1,7 Trilyun).
Perlu kita pertanyakan, apa yg menjadi alasan dan pertimbangan sehingga Aceh mengusulkan sebanyak itu ? Sedangkan penduduk Aceh hanya 5,2 jt. Lagi pula tingkat kerawanan Aceh lebih kecil dibandingkan daerah lain. Apakah tidak ada komunikasi dengan provinsi lain waktu pembahasan refocusing APBA. Misalnya bertanya ke provinsi lain yang penduduknya setara dengan Aceh atau apalah. Bahkan refocusing APBD Sumatera Barat jauh dibawah Aceh. Begitu juga dengan Sumatera Utara. Padahal jumlah penduduk dan tingkat kerawanan Sumut lebih tinggi dari Aceh. Mohon penjelasan dari pejabat Pemerintah Aceh maupun dari Rakan Anggota DPRA.
Saya bisa memaklumi anggaran tsb besar. Tetapi porsi untuk masyarakat yg terkena dampak harus lebih besar pula. Baik dalam bentuk bantuan sembako atau malah pinjaman usaha untuk pasca Corona.
Menurut info dari laporan Kemendagri, Aceh me-refocusing APBA 2020 mencapai 219 M untuk penanganan dampak ekonomi. Posisi Aceh berada pada urutan ke-5 nasional. Yaitu : DKI Jakarta (1.5 T), Jawa Barat (690 M), Jawa Tengah (329 M). Jawa Timur (269 M) dan Aceh (219 M).
Apakah yang dimaksud dengan upaya penanganan dampak ekonomi ? Apakah ini berupa pemberian sembako atau bantuan tunai atau bahkan termasuk pinjaman lunak untuk UMKM ?
Ini perlu kita pertanyakan agar dana publik ini jelas dan tepat peruntukkannya. Tepat sasaran; baik tepat orang, tepat waktu, tepat barangnya, tepat besaran, maupun tepat laporannya.
Terus terang saja, bantuan sembako yang baru saja dilaunching beberapa hari lalu oleh Plt Gubernur Aceh, menurut saya tidak memadai. Dibagikan kepada 60.000 Keluarga dengan harga per paket Rp 200.000 dengan dana 12 M menurut saya sedikit sekali, jika dibandingkan dengan alokasi anggaran untuk ini yang mencapai 219 Milyar.
Isi paket tersebut adalah beras, minyak goreng, mie instan, sarden dan gula. Kecuali beras, semua barang bantuan sembako tersebut didatangkan dari luar daerah. Tentu saja ini melibatkan para pedagang besar yang pasti berorientasi pada mencari laba.
Apalagi bantuan kali ini hanya diperuntukkan hanya bagi OMB (orang miskin baru), bukan penerima PKH dan penerima BLNT (bantuan langsung non tunai). Saya mendapat banyak pengaduan bahwa masih banyak orang miskin baru lainnya yang tidak terdata oleh pihak kabupaten/kota, termasuk para guru bakti yang jumlahnya ribuan orang.
Terkait hal ini, saya sarankan agar jumlah penerima bantuan ekonomi akibat dari dampak Covid-19 dapat diperbesar. Baik diperbesar jumlah orang maupun jumlah besaran bantuannya. Sebaiknya lagi, jangan diberikan lagi dalam bentuk paket barang. Ribet pengadaannya. Apalagi mesti cetak karung khusus yang bernuansa warna politis seperti kemarin. Tetapi ditranfer langsung ke OMB atau apapun namanya, yang penting penduduk Aceh. Mohon bantuannya dipertimbangkan minimal Rp 500.000 per bulan.
Berikutnya perlu pula saya infokan bahwa untuk jaring pengaman sosial. Besaran Refocusing APBA menempati urutan ketiga nasional. Berurutan yaitu : DKI Jakarta.(6,5 T), Jawa Barat (4,5 T), Aceh (1,39 T), Jawa Tengah (1,34 T), dan Jawa Timur (1,17 T).
Mencermati besaran alokasi anggaran di atas, nampak sekali Aceh seperti mau pamer atau mau sok sendiri. Dalam banyak segi, Aceh tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tetapi dalam hal jaring pengaman sosial, posisi Aceh justru lebih tinggi ketimbang Jatim dan Jateng. Sehingga, patut kita pertanyakan apa yang menjadi dasar pertimbangan pihak Eksekutif Aceh mengalokasikan angka yang demikian fantastis.
Dalam kapasitas Kepala Ombudsman RI Aceh, saya dalam fungsi sebagai pengawas penyelenggara pelayanan publik, tentu akan memberi apresiasi positif jika penggunaan jaring pengaman sosial benar-benar ditujukan untuk kemaslahatan perlindungan demi keselamatan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat Aceh.
Saya sarankan sebaiknya porsi yg lebih besar dalam jaring pengamanan sosial diarahkan penggunaannya dalam bentuk pinjaman kewirausahaan. Ini penting sebagai stimulus untuk menggerakkan ekonomi Aceh. Sehingga, momen Covid-19 justru kesempatan baik untuk menumbuhkan semangat wirausaha dan bisnis bagi warga masyarakat Aceh. Ini harus kita gunakan menjadi momentum Aceh Bangkit.
Dengan logika di atas, maksud saya, Anggaran Covid-19 Aceh yang begitu besar, jangan optimal digunakan untuk biaya birokrasi pemerintahan. Tetapi harus lebih banyak mengalir ke warga masyarakat lapisan bawah, yang sangat merasakan dampak penyebaran virus Corona.
Tentu saja untuk paramedis yang menjadi benteng terakhir (ultimum remedium) penanganan virus corona harus juga diberikan insentif dalam jumlah yang patut dan menggembirakan.
Selain itu, pada bagian akhir catatan ini, saya juga menggarisbawahi bahwa dana tersebut harus dikelola dengan transparan dan akuntabel. Tidak boleh ada korupsi dan macam-macam.
Ingat, arahan Presiden RI dalam Kenduri Kebangsaan beberapa waktu lalu, terkait pengelolaan anggaran di Aceh yang boros dan kurang bermanfaat bagi rakyat, harus menjadi perhatian, kepedulian, dan kehati-hatian dari para Pimpinan Pemerintahan Aceh, baik Eksekutif maupun Legislatif-nya. Dan, saya dapat info bahwa Aceh sedang dalam atensi RI – 1.
* Penulis Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh