Nasib Gibran di Tangan Prabowo
Cara berpikir Jokowi melampaui formalitas dan norma hukum. Narasi Jokowi adalah sebuah pesan politik. Pesannya sangat kuat. Kepada siapa? Ya kepada penguasa dan para pendukungnya.
“Kalau Gibran jatuh (diimpach), dia tidak sendiri”. Itu kira-kira pesan singkatnya. Pesan ini tentu serius. Matang, dan penuh perhitungan. Kalkulasi politiknya pasti sudah lama dihitung probabilitasnya.
Bagi Prabowo, yang ia butuhkan adalah stabilitas. Baik stabilitas negara maupun stabilitas kekuasaan. Di luar itu, tak ada yang dikejar kecuali membangun legacy.
Jika kekuasaan Prabowo aman alias tak ada ancaman, maka semua dinamika politik hari ini hanya akan berdampak pada angka elektoral pada Pemilu 2029. Tak akan ada lagi isu pemakzulan. Semua akan berjalan normal dan terkendali.
Kecuali pejabat titipan. Satu persatu akan lengser. Tepatnya dilengserkan. Di kabinet, maupun di institusi hukum. Duta besar, dan juga komisaris. Ini sesuatu yang alamiah. Tak ada yang abadi. Semua ada jatah waktunya, pada akhirnya, harus bergantian.
Para pendukung Prabowo yang keluar banyak keringat sedang menunggu info, kapan resuffle itu dilakukan. Sebagian nggak sabar, karena sudah lebih dari tujuh bulan.
Sebaliknya, jika posisi Prabowo terancam, alias tidak aman, kekuasaan terganggu dan kursi Prabowo goyang, maka tombol pemakzulan Gibran di meja ketua MPR akan menyala.
Bom seketika meledak. Setelah itu, kemungkinan akan ada tombol-tombol berikutnya yang ikut menyala. Ketika tombol-tombol itu menyala, maka ledakan akan terjadi dimana-mana.
Boleh jadi bom waktu tidak hanya menyasar Gibran, tapi juga bisa mengenai Prabowo. Satu paket, kata Jokowi.