Pentas “Bohku”: Ketika Puisi Menampar Keangkuhan Kekuasaan
ACEH bukan hanya tentang masa lalu yang heroik. Ia juga tentang hari ini yang getir. Di tanah Serambi Mekkah ini, kekuasaan tak lagi sekadar soal amanah.
Ia telah menjadi gelanggang adu licik, tempat syahwat jabatan bertarung tanpa malu. Saling cakar, saling tikam, berebut remah kuasa yang tak seberapa. Dan dalam gaduh itu, puisi masih berani bicara.
Adalah Din Saja—budayawan, sastrawan, dan penafsir keresahan zaman—yang tak gentar menyuarakan suara hati rakyat lewat pementasan puisi bertajuk “Bohku”.
Tapi lihatlah, betapa ironi itu nyata: pentas yang seharusnya berlangsung di gedung megah Taman Budaya Aceh, malah diusir ke kantin. Ya, kantin, tempat makan pegawai, tempat sisa kopi dingin dan piring kotor.
Begitu rendahnya nilai seni di mata penguasa, hingga disingkirkan dari ruang resmi hanya karena ia terlalu jujur.
Pertanyaannya: apakah ini Aceh yang dulu berdarah demi kehormatan? Apakah ini negeri yang katanya menjunjung syariat dan akhlak? Atau justru sekarang berubah menjadi tanah absurd, tempat budaya diinjak-injak, dan seniman dipaksa diam?
Bohku bukan sekadar puisi. Ia adalah peluru nurani. Dalam kesederhanaan ruang, puisi-puisi Din Saja menyala seperti bara, menyuarakan kekecewaan rakyat yang lelah ditipu.
Ia menelanjangi tabiat penguasa yang menyulap hukum menjadi alat balas dendam, menjadikan korupsi sebagai ibadah berjamaah, dan menghalalkan segala cara demi tampuk jabatan.
Tak ada lampu sorot. Tak ada dekorasi megah. Tapi justru dari situlah puisi menjadi murni. Karena puisi sejatinya bukan tontonan, tapi perlawanan.
Sebab di saat lisan para elite sibuk berdusta, puisi hadir sebagai suara kebenaran yang tak bisa disuap.
Hadir di acara itu politisi, sastrawan, dan seniman nasional seperti Nasir Djamil, Mulyadi, Sarjev, dan Thayeb Loh Angen. Tapi mereka tak datang untuk selfie atau cari panggung.
Mereka datang untuk menjadi saksi: bahwa puisi belum mati. Bahwa di Aceh, masih ada suara yang tak bisa dibungkam.
Dan bagi mereka yang mabuk kuasa, puisi Din Saja mungkin terasa seperti cambuk. Menyakitkan. Mengganggu. Seperti azan yang terdengar mengusik di telinga orang-orang yang tak ingin diingatkan Tuhan.