Perang Israel-Iran: Geopolitik, Geoekonomi, dan Geostrategi Indonesia di Tengah Gejolak Timur Tengah
Oleh: Dr. K.H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A.,
SITUASI geopolitik Timur Tengah memanas setelah pecah perang terbuka antara Israel dan Iran sejak 13 Juni lalu. Israel meniup terompet peperangan terlebih dahulu dengan melancarkan serangan militer frontal ke ibu kota Teheran dan fasilitas pengembangan nuklir milik Iran di Natanz dan Isfahan. Serangan militer dengan menggunakan rudal dan pesawat nirawak ini diklaim telah menimbulkan kerusakan fisik yang signifikan, menimbulkan kebocoran nuklir, termasuk menewaskan beberapa petinggi militer dan ilmuwan nuklir Iran. Iran merespons serangan militer tersebut dengan pilihan kebijakan yang sama, yakni serangan militer balasan ke wilayah-wilayah strategis Israel, terutama ibu kota. Menarik untuk mencermati babak baru pertikaian di Timur Tengah di antara kedua negara dengan mencermati implikasi dari sisi geopolitik, geoekonomi, serta pilihan geostrategi yang perlu diterapkan oleh negara-negara dunia agar tidak terdampak oleh perang ini.
Serangan militer negeri zionis ini dipandang dari perspektif studi hubungan internasional menunjukkan hegemoni dan dominasi negara-negara Barat dalam penguasaan nuklir, yang mana dominasi yang mereka pegang sebisa mungkin mengeliminasi aktor-aktor hubungan internasional lainnya untuk mengembangkan kekuatan serupa dan berada pada level yang sama dengan mereka. Israel yang dibekingi oleh Amerika Serikat (AS) menginisiasi serangan setelah Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyatakan bahwa Iran melanggar perjanjian nonproliferasi dan negosiasi nuklir antara AS-Iran menemui jalan buntu. Israel tanpa segan menyatakan bahwa serangan tersebut merupakan bentuk pre-emptive strike untuk menghancurkan kapasitas program nuklir Iran, sekaligus mencegah “negeri para Mullah” mengembangkan senjata nuklir. Iran sendiri secara progresif telah melakukan pengayaan uranium di fasilitas nuklirnya hingga level kemurnian 60 persen. Artinya, sedikit lagi Iran akan mampu memiliki senjata nuklir yang membutuhkan level kemurnian 90 persen. Situasi inilah yang hendak dicegah oleh Israel dan AS karena dapat menjadi ancaman nyata bagi eksistensi keduanya di Timur Tengah.
Geopolitik
Sistem internasional dewasa ini tidak sepenuhnya bersifat multipolar sebagaimana yang dicita-citakan banyak negara pasca berakhirnya PD-2. Relasi yang simetris dan mutualis antarnegara dalam sistem internasional tanpa hegemoni dari kekuatan manapun ternyata tidak berjalan sesuai harapan. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur geopolitik dunia yang tidak menjunjung tinggi kesetaraan dalam relasi antarnegara. DK PBB dikuasai oleh negara-negara pemenang PD-2 dengan hak vetonya, World Bank dan IMF menjadi senjata geoekonomi AS dan Uni Eropa untuk menciptakan dependensi ekonomi bagi negara-negara Selatan (Global South), demikian juga halnya dengan kepemilikan senjata nuklir yang hanya dimiliki oleh segelintir negara seperti AS, Rusia,Tiongkok, Inggris, Prancis, Israel, India, Pakistan, serta Korea Utara. Relasi yang tidak simetris dan mutualis karena dominasi sumber daya dan privilege, terlebih lagi pola relasi yang sangat realis dan unilateralis yang dilakukan oleh negara-negara hegemon tersebut telah menimbulkan ketidaksetaraan, ketidakadilan, bahkan kemiskinan bagi negara-negara lain.
Situasi yang tidak menguntungkan tersebut direspons Iran-sebuah negara yang dialienasi oleh anggota kawasan Timur Tengah-, dengan mengambil terobosan penting dalam kebijakannya, yakni pengembangan nuklir guna pemenuhan kebutuhan energi di level domestik sejak 1950. Untuk memastikan bahwa program nuklir yang dijalankan tidak menimbulkan dilema keamanan (security dilemma) bagi negara-negara lain, Iran bergabung dalam rezim anti-proliferasi nuklir dunia. Pengembangan energi nuklir Iran tidak berjalan sendiri, melainkan melibatkan kekuatan besar di belakangnya, yakni AS dan Rusia. Hanya saja perubahan tampuk kepemimpinan di dalam negeri Iran, terutama setelah Revolusi Islam Iran pada 1979, telah merubah pendulum relasi antara Iran dan kedua negara tersebut. Pengembangan nuklir guna kebutuhan energi mulai dicurigai sebagai upaya simultan dan berjangka Panjang untuk mentransformasi Iran sebagai negara nuklir di masa yang akan datang. Geopolitik dan peta kepentingan nasional Iran di kawasan sangat mendukung untuk asumsi itu mengingat Iran banyak bergesekan dari sisi Politik dan militer dengan negara-negara kawasan, terlebih lagi Israel yang merupakan proksi politik militer dari AS dan tak pernah berhenti melakukan kekejian terhadap bangsa Palestina-fenomena politik yang tidak disukai Iran yang pro-Hamas.
Upaya AS dan Israel untuk menghentikan pengembangan nuklir Iran bisa dipandang sebagai sikap hipokrit kedua negara. Pertama, AS sebagai negara pemilik senjata nuklir terikat pada rezim non-proliferasi senjata nuklir, yang artinya dibebankan kewajiban untuk mengurangi jumlah senjata nuklirnya secara bertahap. Faktanya, tidak ada pengurangan yang dilakukan oleh AS, justru semakin meningkatkan kapasitas nuklirnya. Kedua, Israel sebagai proksi AS di Timur Tengah secara nyata memiliki senjata nuklir, namun enggan untuk bergabung dan meratifikasi rezim non-proliferasi nuklir. Sikap Israel ini serupa Korea Utara yang kerapkali menimbulkan ketegangan di kawasan masing-masing. Jika ditilik dari kaidah hukum internasional dan kepatuhan pada prinsip non-intervensi dan non-interferensi, baik AS maupun Israel sangat masif melakukan pelanggaran hukum internasional, bahkan terlibat dalam kejahatan perang dan kemanusiaan. Sejarah mencatat bahwa AS melakukan invasi ke Afghanistan dan Irak pada periode awal 2000-an tanpa memiliki dasar hukum yang jelas. Demikian pula halnya Israel yang mengobarkan Perang Arab dan menganeksasi bangsa Palestina hingga kini. Kebijakan strategis Iran untuk mengembangkan energi nuklir, pun jika ada intensi untuk membangun kekuatan nuklir, sangat bisa dimafhumi sebagai balancing of power terhadap hegemoni AS dan Israel di Timur Tengah.
Secara geopolitik, perang antara Israel dan Iran ini telah meningkatkan ketegangan dan suhu konflik di kawasan. AS sebagai beking militer Israel tentu tidak akan tinggal diam mengingat Iran memiliki kapasitas untuk menciptakan damage dan kehancuran besar bagi Israel. Rusia dan Tiongkok yang memiliki relasi militer dan ekonomi dengan Iran juga tidak akan tinggal diam jika Iran diluluhlantakkan oleh AS. Semua negara yang berkepentingan pada konflik ini diyakini sedang menghitung kapasitas dan kepentingan nasional masing-masing sembari memetakan opsi-opsi kebijakan yang akan diambil. Dalam konteks ini, hukum bola biliar (billiard ball) dalam sistem internasional yang penuh konflik berlaku; aksi-reaksi pada satu negara dapat menimbulkan damage yang besar terhadap sistem secara keseluruhan. Baik Israel maupun Iran, demikian juga halnya dengan negara-negara yang berkepentingan pada konflik ini, sepatutnya melakukan kalkulasi secara strategis dalam mengambil kebijakan mengingat konflik ini berpotensi besar mengganggu perekonomian dunia, termasuk kemungkinan untuk memunculkan perang dunia ke-3 dengan eskalasi dan risiko yang lebih besar dari kedua perang sebelumnya.
Geoekonomi
Konflik dan perang di antara kedua negara yang baru berlangsung selama tiga hari telah menimbulkan guncangan besar pada sektor perekonomian dan perdagangan dunia, terlebih lagi pada subsektor energi yang menjadi komponen penting bagi pertumbuhan ekonomi negara-negara global. Serangan Israel ke Iran berdampak besar terhadap rantai distribusi dan ekspor minyak dari negara-negara Timur Tengah ke luar kawasan. Hal ini secara lebih lanjut menimbulkan lonjakan harga pada komoditas minyak Brent dan WTI di pasar global. Merujuk data Refinitiv, harga Brent sempat menembus US$ 78,50 dan WTI berada di angka US$ 77,62. Kedua harga minyak acuan ini mencatat lonjakan intraday tertinggi sejak 2022 atau saat Rusia memulai invasi ke Ukraina yang berdampak signifikan terhadap rantai pasok dan peta pasar energi di Eropa. Untuk jangka Panjang, signifikasi di sektor energi ini perlu menjadi atensi semua negara. Kerusakan fasilitas kilang minyak di Iran akan berpotensi mengganggu rantai pasok minyak global mengingat di satu sisi Iran merupakan pemain penting dalam produksi minyak di kawasan dengan kapasitas produksi 3,3 juta barel BOPD, sedangkan di sisi lain kawasan Timur Tengah secara keseluruhan yang terdampak konflik berperan dalam memasok sepertiga kebutuhan minyak global. Distraksi juga berpotensi terjadi pada rantai konektivitas karena gangguan pada Selat Hormuz yang berada di Iran dapat menyumbat pasokan 18-19 juta BOPD minyak dunia yang melewati selat terpadat di dunia tersebut.
Geostrategi
Indonesia sebagai bagian dari komunitas global perlu menajamkan mata telinga dan melakukan pencermatan secara saksama terhadap konflik Israel-Iran mengingat dampak-dampak yang ditimbulkan bersifat secara langsung. Pemerintah melalui K/L terkait perlu melakukan formulasi geostrategi yang bersifat komprehensif untuk meredam ekses politik dan ekonomi yang ditimbulkan. Indonesia yang berkomitmen mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi mendapatkan peluang sekaligus ancaman. Tersumbatnya rantai pasok minyak dari Timur Tengah berpotensi menaikkan permintaan asing terhadap ekspor minyak nasional. Indonesia memiliki keuntungan dari sisi volume maupun ICP karena akan mengerek PNBP sektor migas. Namun demikian, status ganda yang kita miliki sebagai negara eksportir dan imortir migas sekaligus berpotensi menempatkan kita pada posisi kekurangan pasokan migas untuk pemenuhan kebutuhan nasional karena adanya sumbatan pada rantai pasok. Oleh sebab itu, pilihan kebijakan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi bagi pemerintah sekaligus mengonversi momen menjadi momentum adalah dengan cara menaikkan kapasitas produksi (lifting) migas nasional sejak saat ini. Indonesia memiliki kapasitas untuk melakukan itu selama tata kelola dilakukan secara bersih (clean governance), serta didukung oleh penggunaan teknologi tinggi dalam eksplorasi, eksploitasi, dan produksi migas.
Sebagai negara yang menjunjung tinggi perdamaian dunia, kita sangat menyayangkan perang terbuka yang terjadi antara Israel dan Iran. Konsekuensi di sisi geopolitik dan geoekonomi sangat besar dan menuntut semua negara terdampak untuk merumuskan kembali geostrateginya masing-masing. Kita semua berharap bahwa negara-negara di kawasan Timur Tengah dapat mengambil posisi dan sikap yang netral dengan senantiasa mengedepankan prinsip perdamaian. Begitu juga harapan kita layangkan pada instrumen perdamaian dunia seperti PBB untuk mengambil langkah-langkah mediasi yang tepat. Bagi Indonesia sendiri, pemerintah sudah semestinya mengambil langkah responsif dengan menugaskan instansi terkait di bidang perekonomian, perdagangan, dan energi untuk membuat skema mitigatif terhadap semua risiko ekonomi yang ditimbulkan ke depan.
- Analisis Perang Israel Iran
- AS Israel
- Bahaya Nuklir Iran Israel
- Dampak Konflik Timur Tengah Ekonomi
- DPR RI PKB
- Dr. K.H. Jazilul Fawaid
- Geoekonomi
- geopolitik Timur Tengah
- Geostrategi Indonesia
- Geostrategi Indonesia Hadapi Perang
- Harga Minyak Dunia
- Keamanan Regional
- Kebijakan Luar Negeri Indonesia
- konflik Timur Tengah
- Krisis Energi Global
- Krisis Energi Global Akibat Perang
- nasional
- pbb
- Peningkatan Produksi Migas Indonesia
- Peran Indonesia Jaga Perdamaian Dunia
- perang Israel Iran
- peristiwa
- pkb
- politik
- program nuklir Iran
- Selat Hormuz
- www.infoaceh.net