Infoacehnet

Portal Berita dan Informasi Aceh

Plt Dirut Dikosongkan, Bank Aceh Kini Berlayar Tanpa Nahkoda

Bank Aceh berjalan tanpa Direktur Utama (Dirut) aktif karena memang demikian kehendaknya. Jabatan Pelaksana Tugas (Plt) Dirut yang sebelumnya menjembatani kekosongan posisi tertinggi itu telah dihapus.
Saifullah Hayati Nur

Oleh: Saifullah Hayati Nur*

Di tengah riuh perubahan global dalam industri keuangan, ketika teknologi dan kepemimpinan strategis menjadi poros utama keberlangsungan sebuah institusi, muncul satu cerita menarik sekaligus membingungkan dari ujung barat Indonesia: Bank Aceh.

Sebuah bank pembangunan daerah (BPD) yang sejatinya memiliki peran vital dalam perekonomian Aceh kini dikabarkan tengah berlayar tanpa seorang nahkoda.

Ya, Bank Aceh, institusi keuangan daerah yang besar itu, kini dalam mode auto pilot.

Bukan karena kekurangan sumber daya manusia atau krisis kompetensi. Juga bukan karena gejolak pasar atau kekosongan kader profesional.

Bank Aceh berjalan tanpa Direktur Utama (Dirut) aktif karena memang demikian kehendaknya. Jabatan Pelaksana Tugas (Plt) Dirut yang sebelumnya menjembatani kekosongan posisi tertinggi itu telah dihapus.

Dengan kata lain, posisi pucuk pimpinan tidak sedang kosong karena keadaan, melainkan dikosongkan secara sadar.

Fenomena ini sontak menimbulkan tanda tanya di benak publik. Bagaimana bisa sebuah lembaga keuangan yang mengelola puluhan triliun dana masyarakat bisa tetap berjalan normal tanpa ada sosok sentral di pucuk pimpinan?

Dan jika bisa, apakah ini artinya sistem di dalam Bank Aceh telah begitu mapan sehingga keberadaan pemimpin hanya simbolik belaka? Atau sebaliknya, ini justru menjadi indikasi dari persoalan yang lebih dalam tentang tata kelola, etika manajerial dan ketelanjangan dalam pengambilan keputusan?

Ketika Fungsi Strategis Dikosongkan

Dalam sistem organisasi modern, terutama di sektor keuangan, keberadaan seorang direktur utama bukan hanya simbol kepemimpinan. Dirut adalah pusat arah kebijakan, penjaga integritas, dan pengambil keputusan strategis dalam menghadapi dinamika yang cepat berubah.

Dirut memikul tanggung jawab tertinggi, baik terhadap pemegang saham, nasabah, maupun publik secara umum.

Maka, ketika posisi ini sengaja dibiarkan kosong, dan bahkan pelaksana tugasnya pun dicabut, timbul pertanyaan besar: apa sebenarnya yang sedang terjadi di Bank Aceh?

Kabarnya, keputusan menghapus jabatan Plt Dirut datang dari lingkaran tertinggi dewan komisaris, bahkan disebut-sebut dari Komisaris Utama, Azwardi Abdullah.

Namun hingga kini belum ada penjelasan resmi kepada publik terkait alasan kebijakan tersebut. Apakah ini bentuk efisiensi? Langkah antisipatif? Atau strategi jangka panjang yang belum waktunya diungkap?

Yang jelas, publik dibiarkan menebak-nebak. Padahal, sebagai lembaga keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat dan milik bersama rakyat Aceh, transparansi seharusnya menjadi prinsip utama. Ketika keputusan sebesar ini dibuat tanpa akuntabilitas publik, rasa percaya pun mulai terkikis.

Sistem yang Jalan Sendiri: Efisiensi atau Ilusi?

Yang mengejutkan dari kisah ini adalah kenyataan bahwa Bank Aceh tetap hidup. Transaksi tetap berlangsung, nasabah tetap dilayani, dan tak terlihat tanda-tanda kepanikan. Bank Aceh seperti berjalan otomatis.

Dalam manajemen modern, ini bisa dibaca sebagai efisiensi sistem yang luar biasa – sistem sudah mampu berjalan sendiri, dengan struktur dan proses yang solid, tanpa ketergantungan pada satu figur.

Namun benarkah demikian? Di balik kelancaran operasional, ada kekhawatiran yang harus diwaspadai. Operasional bisa memang berjalan secara teknis – pegawai tetap masuk kerja, sistem IT berjalan, produk bank tetap ditawarkan.

Tapi hal itu belum menyentuh substansi manajemen strategis. Sebab bank bukan sekadar tempat keluar-masuk uang, melainkan institusi kepercayaan.

Dan kepercayaan tidak dibangun oleh sistem semata, tetapi oleh arah, visi dan kepemimpinan.

Tanpa Dirut, siapa yang menentukan arah ekspansi Bank Aceh dalam lima tahun ke depan? Siapa yang bertanggung jawab ketika risiko kredit bermasalah meningkat? Siapa yang menjadi pengambil keputusan saat bank menghadapi tekanan dari regulasi atau fluktuasi ekonomi?

Semua itu tidak bisa diserahkan kepada sistem otomatis atau didelegasikan sepenuhnya kepada staf teknis.

Justru dalam situasi seperti inilah dibutuhkan sosok pemimpin – seseorang yang bisa mengambil tanggung jawab penuh dan memberikan arah yang jelas.

Antara Kebanggaan dan Ketakutan

Fenomena Bank Aceh ini menimbulkan dua reaksi ekstrem. Di satu sisi, ada kekaguman. Banyak yang melihatnya sebagai bukti bahwa Bank Aceh sudah sangat mandiri dan sistemnya sudah matang.

Tapi di sisi lain, muncul kekhawatiran jika terus begini, apakah Bank Aceh tidak akan kehilangan arah?

Memang, struktur organisasi bisa menopang keberlangsungan sebuah institusi dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang, institusi tanpa visi akan stagnan. Ketika tidak ada kepemimpinan yang menginspirasi, maka inovasi akan mandek.

Ketika tidak ada kebijakan strategis, maka potensi pertumbuhan akan terabaikan.

Lebih dari itu, kekosongan ini juga bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk bermain di balik layar. Ketika tidak ada satu orang yang secara sah memegang tanggung jawab, maka ruang abu-abu terbuka lebar.

Dan dalam ruang abu-abu itu, keputusan bisa diambil tanpa mekanisme yang jelas, tanpa pertanggungjawaban, dan tanpa arah.

Aceh Layak Punya Bank yang Profesional

Bank Aceh bukan sekadar lembaga keuangan. Ia adalah simbol kedaulatan ekonomi Aceh. Dalam sejarah otonomi daerah, keberadaan Bank Aceh adalah salah satu manifestasi semangat kemandirian finansial.

Maka, ia seharusnya dijalankan dengan profesionalisme yang tinggi dan tata kelola yang bersih.

Jika dibiarkan tanpa Dirut, tanpa arah, dan tanpa transparansi, maka cita-cita besar di balik lahirnya Bank Aceh bisa tercoreng. Ini bukan lagi soal “siapa yang memimpin,” tapi lebih dalam dari itu: “mengapa kita membiarkan Bank Aceh berjalan tanpa arah?”

Masyarakat Aceh berhak tahu, berhak bertanya, dan berhak memastikan bahwa lembaga keuangan daerah mereka dijalankan secara sehat, profesional, dan bertanggung jawab.

Bank Aceh bukan milik segelintir elit, bukan juga milik komisaris atau pemerintah daerah semata. Ia milik publik. Maka kepentingan publik harus selalu menjadi yang utama.

Haruskah Kita Diam?

Diam dalam situasi seperti ini bukan pilihan yang bijak. Jika publik diam, jika pers diam, jika pemangku kepentingan hanya menonton, maka yang akan muncul adalah kelaziman terhadap kekosongan. Dan kelaziman itu berbahaya.

Ia bisa mengakar menjadi budaya birokrasi yang tidak bertanggung jawab. Ia bisa menjadi preseden buruk bagi lembaga lain di Aceh.

Maka, wajar jika muncul desakan dari masyarakat sipil, akademisi, bahkan politisi, agar Pemerintah Aceh dan Dewan Komisaris segera mengambil tindakan: mengisi jabatan Direktur Utama dengan figur yang kompeten, memiliki rekam jejak yang jelas, serta mampu memimpin Bank Aceh menuju arah yang lebih baik.

Lebih dari itu, harus ada audit publik terhadap proses pengambilan keputusan di tubuh Bank Aceh. Mengapa jabatan Plt Dirut dihapus? Apa dasar hukumnya? Apa tujuannya? Dan siapa yang bertanggung jawab? Semua itu harus dijawab secara terbuka.

Kepemimpinan Bukan Formalitas

Dalam sejarah banyak organisasi besar, kepemimpinan selalu menjadi faktor krusial. Bahkan di tengah sistem yang canggih sekalipun, manusia tetap membutuhkan pemimpin yang bisa mengarahkan, membimbing, dan mengambil keputusan krusial.

Pemimpin bukan sekadar jabatan di kartu nama atau nama di daftar gaji, ia adalah ruh organisasi.

Ketika ruh itu absen, maka yang tersisa hanyalah tubuh yang berjalan mekanis. Mungkin tidak langsung roboh. Tapi lama-lama akan kehilangan arah, kehilangan energi, dan akhirnya kehilangan relevansi.

Bank Aceh masih punya waktu untuk memperbaiki arah. Tapi waktu tidak akan menunggu. Jika hari ini kita membiarkan institusi besar ini berlayar tanpa nahkoda, maka besok kita mungkin menyaksikan kapal ini menabrak karang – bukan karena badai besar, tapi karena kita membiarkannya tanpa kompas.

Lebih dari segalanya, krisis kepemimpinan di Bank Aceh adalah panggilan bagi kita semua untuk kembali menumbuhkan rasa memiliki.

Aceh bukan hanya soal sejarah dan budaya, tapi juga soal ekonomi dan kemandirian. Dan Bank Aceh adalah salah satu instrumen penting dari perjuangan itu.

Jangan biarkan institusi ini dijalankan seperti mesin otomatis tanpa arah. Jangan biarkan posisi penting dikosongkan tanpa alasan yang jelas. Dan jangan biarkan publik dipaksa percaya pada sistem yang tidak transparan.

Sudah saatnya kita bertanya lebih keras, menuntut lebih lantang, dan bertindak lebih bijak. Bank Aceh layak punya pemimpin. Dan rakyat Aceh layak tahu siapa yang memimpin dan ke mana kapal besar ini akan berlayar.

*Penulis adalah Rakyat Jelata yang tinggal di Pinggiran Kota Banda Aceh

Lainnya

Exit Meeting Pemeriksaan Terinci Atas Laporan Keuangan Tahun 2024 di aula Lantai 3 Kantor Bupati Aceh Besar, Kota Jantho, Kamis (8/5).
Wamendikti Saintek Prof Stella Christie PhD saat berkunjung ke SMA Negeri 10 Fajar Harapan Banda Aceh, Kamis (8/5/2025)
DPD GRIB Jaya Provinsi Aceh
Wamendikti Saintek Prof Stella Christie PhD mengunjungi kampus Politeknik Aceh, Kamis, 8 Mei 2025
Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol Djuhandhani Rahardjo Puro
Polres Bener Meriah melakukan penindakan terhadap aktivitas geng motor bersenjata tajam yang melibatkan puluhan remaja di bawah umur
Kajari Bireuen Munawal Hadi SH MH didampingi Kasi Datun Hanita Azrica menerima pengembalian pinjaman pembiayaan nasabah PT BPRS Kota Juang di Kejari setempat
"Pak Prabowo memahami betul posisinya sebagai Presiden. Dia tahu cara berterima kasih kepada Pak Jokowi. Tapi untuk urusan negara, dari awal saya yakin dia independen," ujarnya, kepada wartawan di Jakarta, Kamis (8/5/2025).
Wakil Gubernur Aceh Fadhlullah bersama Wakil Bupati Aceh Utara, Tarmizi Panyang menyapa pasien yang tengah dioperasi katarak, pada kegiatan Bakti Sosial Operasi Katarak di Kabupaten Aceh Utara, Kamis (8/5)
Kapolresta Banda Aceh Kombes Pol Joko Heri Purwono memimpin apel pembentukan Tim Anti Premanisme di Lapangan apel Mapolresta Kamis (8/5)
Wamendikti Saintek Prof Stella Christie PhD mengunjungi SMAN 10 Fajar Harapan Banda Aceh, Kamis (8/5)
Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menetapkan tersangka dalam kasus dugaan obstruction of justice (OJ) penyelidikan perkara tindak pidana korupsi Timah dan impor gula. Tersangka kali ini adalah Ketua Cyber Army, (MAM).
Grib Jaya Balas Tantangan Brigade Jawara Betawi 411 dan Pendekar Banten
Wagub Aceh Fadhlullah melakukan kunjungan ke kantor PT. Patna, Badan Usaha Pembangun dan Pengelola Kawasan (BUPP) KEK Arun Lhokseumawe, Kamis (8/5)
Pakistan Klaim Berhasil Jatuhkan 12 Drone Tempur India Buatan Israel
Foto : dok.istimewa
Sejumlah manuskrip asli peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam tampil di galeri utama pameran bertajuk “Kejayaan Peradaban Islam Dunia Melayu dan Dunia Islam” yang diselenggarakan IAMM Malaysia sepanjang Mei - Juni 2025. (Foto: For Infoaceh.net)
Penyidik Subdit Fismondev Ditreskrimsus Polda Aceh melakukan penggeledahan di kantor PT BPRS Gayo di jalan Mahkamah, Kecamatan Lut Tawar, Aceh Tengah, Kamis, 8 Mei 2025
Plt Sekda Aceh, M Nasir Syamaun menerima penyerahan santunan meninggal dunia dan bantuan beasiswa pendidikan kepada ahli waris Kamaruddin Abubakar atau Abu Razak di ruang Rapat Sekda Banda Aceh, Kamis (8/5/2025)
“Pelaporan kepala LLDIKTI Wilayah XIII Aceh cukup beralasan secara hukum, ancaman hukumannya adalah penjara 2 tahun 8 bulan,” kata Fadjri.
Enable Notifications OK No thanks