Pokir Beraroma Fee Proyek Jadi Ajang Bancakan APBA

Pokir Beraroma Fee Proyek Jadi Ajang Bancakan APBA

BUKU usulan Pokok-pokok Pikiran (Pokir) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tahun 2023 beserta nilai proyeknya telah bocor ke publik.

Dokumen pokir tersebut baru kali ini tersebar secara luas ke publik sebelum dieksekusi oleh eksekutif Pemerintah Aceh.

Buku usulan Pokir 2023 beredar di grup-grup WhatsApp (WA), sejak Senin pagi (20/2/2023).

Dokumen yang disusun oleh Bappeda Aceh itu memuat program-program usulan masing-masing anggota dewan beserta besaran pagunya.

Dalam buku usulan pokir juga disebutkan besaran pokir ke-81 anggota DPRA.

Anggaran paling besar tentunya dimiliki oleh unsur pimpinan yakni Ketua dan Wakil Ketua DPRA yang jumlahnya mencapai ratusan miliar. Kemudian diikuti para ketua fraksi, komisi dan anggota DPRA

Jumlah pagu Pokir terbanyak dimiliki oleh Ketua DPRA Saiful Bahri alias Pon Yaya sebesar Rp 135 miliar lebih. Selanjutnya, Safaruddin (Wakil Ketua III) sebesar Rp 91 miliar lebih, Hendra Budian (eks Wakil Ketua II) Rp 85 miliar lebih, dan Dalimi (Wakil Ketua I) Rp 74 miliar lebih.

Sedangkan Teuku Raja Keumangan (TRK) yang saat menjabat Wakil Ketua II menggantikan Hendra Budian, hanya mengelola dana pokir tahun 2023, sebesar Rp 19 miliar lebih.

Beginilah nasib rakyat Aceh, selalu menjadi objek dari proses pembangunan Aceh dengan gelontoran dana yang luar biasa.

Sesungguhnya tidak sulit untuk mengurai persoalan kemiskinan akut di Aceh, sama mudahnya ketika mengungkap kasus korupsi, semua bermuara kepada aktor intelektual sebagai pemangku kebijakan di Aceh.

Oleh karenanya tidak keliru jika dikatakan kemiskinan di Aceh akibat salah urus dalam pengelolaan keuangan Aceh.

Model pengelolaan keuangan Aceh yang mengedepankan mekanisme “bagi hasil” (bagi-bagi dan hasilnya dinikmati para pejabat) di antara para pemangku kebijakan dan jajaran aparat penegak hukum, sementara rakyat Aceh hanya menjadi penonton dari proses penjarahan APBA.

Kisruh program Pokok-pokok Pikiran (POKIR) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang kemudian terungkap ke publik, sesungguhnya adalah program bancakan bagi-bagi dana APBA yang sama sekali tidak memiliki landasan hukum.

Fenomena POKIR DPRA yang kontradiktif dengan tangung jawab dan kewenangan DPRA, memperkuat bukti bahwa
Aceh saat ini sedang digerogoti dari semua lini.

Selama ini kita hanya menuding eksekutif sebagai biang kerok kemiskinan dan kebocoran keuangan Aceh.

Fakta mengungkapkan bahwa kejahatan terhadap rakyat Aceh dilakukan secara bersama sama dengan legislatif dan yudikatif Aceh yang sudah menjadi rahasia umum ikut memperburuk pengelolaan APBA akibat ikut terlibat berebut paket proyek APBA.

Adanya modus operandi praktek korupsi dengan format 3 in 1 (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dalam satu pusaran korupsi, menjadikan Aceh sebagai lahan subur bagi tumbuhnya mega korupsi, dimana para koruptor dapat hidup nyaman tanpa takut tertangkap.

Program POKIR DPRA yang jumlahnya lebih dari Rp 1 triliun itu menjadikan buram potret Aceh untuk lepas dari persoalan kemiskinan, pengangguran, gizi buruk dan penegakan hukum yang berkeadilan.

Tidak ada toleransi untuk melanjutkan program POKIR yang beraroma korupsi fee proyek.

POKIR adalah praktek korupsi sistemik dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh legislative dan eksekutif serta mendapat perlindungan yudikatif.

Sudah saatnya rakyat Aceh selaku pemilik kedaulatan, mengambil sikap tegas melalui perlawanan hukum atas tindakan para pemangku kebijakan yang merampas masa depan rakyat Aceh.

Penulis:
Sri Radjasa Chandra MBA (Pemerhati Aceh)

Tutup