Pokir DPRA: Halal Tapi Tidak Amanah
KEBOCORAN dokumen usulan Pokok-pokok Pikiran (Pokir) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dalam APBA 2023 ke ruang publik, sesungguhnya bukanlah aib yang harus ditutupi, jika merujuk kepada Pasal 161 Undang-undang Nomor 23/2014 menegaskan bahwa anggota DPRD berkewajiban menyerap, menghimpun dan menampung serta menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
Kemudian diperkuat dengan Pasal 54 PP Nomor 12/2018 Tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD menegaskan bahwa Badan Anggaran mempunyai tugas dan wewenang memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada Kepala Daerah dalam mempersiapkan Rancangan APBD.
Lantas mengapa sepertinya akan terjadi tsunami, ketika terjadi kebocoran dokumen Pokir PDRA 2023 dengan nilai yang fantastis?
Pendekatan cara pandangnya tidak lagi merujuk kepada Undang-undang maupun peraturan pemerintah yang berlaku, tapi lebih dahsyat lagi yaitu dilandasi pendekatan amanah yang berkaitan dengan sifat seseorang, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Hadits “Laa iimaana liman laa amaanata lahu walaa diina liman laa ‘ahdahu”, tidak sempurna iman seseorang yang tidak amanah, dan tidak sempurna agama orang yang tidak menunaikan janji” (Hadits Riwayat Ahmad).
Mengapa barang yang sudah dikatakan halal, kemudian diperdebatkan sedemikian kerasnya, tentunya didasarkan oleh sejarah perjalanan Pokir yang kelabu dan salah urus.
Rakyat Aceh sesungguhnya sudah lelah berurusan dengan persoalan amanah yang dititipkan kepada “yang mulia” para wakil rakyat serta para pimpinan daerah, mengingat derita rakyat yang tidak berkesudahan sekalipun Aceh bergelimang anggaran pembangunan.
Bagaimana mungkin nasib rakyat Aceh, diserahkan kepada orang-orang yang sifat amanahnya dipertanyakan, sehingga kesempurnaan keimanannya menjadi pertanyaan pula.
Mari sejenak kita tengok ke belakang, untuk melihat kembali perjalanan POKIR DPRA yang telah lalu dan faktanya tidak mereduksi angka kemiskinan di Aceh.
Selalu terngiang di telinga para pencari pekerjaan proyek yang dikelola Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemerintah Aceh, kalimat “Paket ini punya Pokir Anggota DPRA”, artinya paket proyek tersebut harus mendapat persetujuan anggota DPRA yang dimaksud, terkait komitmen fee yang akan diberikan kepada Anggota DPRA tersebut.
Hal yang lebih bejat lagi ketika Paket Pokir dikerjakan sendiri oleh keluarga Anggota DPRA, sehingga keuntungan dan fee masuk ke kantong pribadi oknum DPRA.
Bahkan terjadi ketika tidak ditemukan kesepakatan fee antara kontraktor dan anggota DPRA, berakibat anggaran tidak terserap karena tidak cukup waktu pengerjaan proyek.
Menurut info yang dapat dipercaya, bahwa setiap fee yang diterima dari hasil POKIR, dihimpun oleh Kepala ULP Aceh yang selama ini kita ketahui memegang kendali penjarahan proyek-proyek APBA.
Kepala ULP Aceh disinyalir memainkan peran distributor aliran dana fee proyek ke eksekutif maupun legislatif. Sosoknya dikatakan kebal hukum dan kebal rasa malu.
Mengapa kerusakan yang semakin akut dalam pengelolaan APBA kerap terjadi dari tahun ke tahun?
Jawabannya tidaklah sulit karena POKIR tidak hanya menjadi jatah DPRA, tapi telah berlangsung lama dan kasat mata adanya jatah “POKIR” Polda, Kejaksaan bahkan jajaran militer di Aceh.
Jika demikian kejadiannya, maka tidak ada lagi keraguan bagi para penjarah uang rakyat untuk melakukan aksinya, tanpa harus takut tertangkap.
Betapa fenomena jahiliyah sedang berlangsung di Aceh, ketika hak dan harta anak cucu sendiri dijarahnya. Ingat…rakyat Aceh diam bukan berarti takut, karena mereka sadar dan memahami sabda Rasulullah “Siapa yang berdoa atau mengajak orang zalim tetap berkuasa, maka dia telah menyukai orang itu bermaksiat kepada Allah di bumi-Nya”.
Penulis:
Sri Radjasa Chandra MBA
(Pemerhati Sosial Politik Aceh)