Rencong Masih Tajam
Celakanya, ada maksud “jahat” atau “licik” atau bahasa halusnya “tidak baik” di balik pencaplokan oleh Sumut kali ini. Kawasan empat pulau ini ternyata menjadi target investasi besar-besaran. Angkanya tidak main-main: disebut-sebut akan masuk triliunan rupiah dari asing.
Sektor yang akan digarap? Diduga mulai dari tambang, gas, pelabuhan logistik, sampai pariwisata eksklusif. Pihak DPR menduga kuat, ada sumber gas besar di sana. Maka, pertanyaannya bergeser: ini soal batas wilayah, atau soal membuka jalan tikus bagi investasi elite?
Lebih mencurigakan lagi, dugaan keterlibatan jaringan politik yang dekat dengan lingkaran mantan Presiden Joko Widodo ikut menguat. Nama Bobby Nasution — Wali Kota Medan, menantu Jokowi, dan (kebetulan?) tokoh Sumut — turut disebut dalam spekulasi ini.
Apakah proyek-proyek strategis ke depan sengaja dikondisikan agar dikelola oleh jejaring oligarkis yang itu-itu saja? Kalau iya, ini bukan sekadar konflik batas wilayah. Ini perebutan kedaulatan dalam bentuk yang lebih licin dan licik: peta dan proyek.
Sementara elite berdebat dan investor menyiapkan proposal, para nelayan di Aceh Singkil justru makin gelisah. Jika benar kelak investasi triliunan masuk ke sana, laut yang mereka kenal sejak kecil kini bisa jadi “wilayah asing” yang membatasi gerak mereka.
Mereka yang selama ini melaut dengan modal secuil, bisa tiba-tiba dicap “ilegal” karena peta berubah. Tak ada yang konsultasi kepada mereka. Tak ada yang undang ke forum kajian. Mereka cuma mendengar dari berita — dan itu pun setelah SK keluar.
Inilah wajah kebijakan eksklusif: yang memutuskan jauh di Jakarta, yang terdampak hidupnya justru tak pernah diajak bicara. Maka, penolakan publik terhadap pencaplokan keempat pulau oleh Sumut bukan sekadar reaksi emosional.
Ini adalah bentuk perlawanan terhadap pola pengelolaan negara yang semakin elitis dan menjauh dari prinsip keadilan. Empat pulau itu bukan sekadar titik koordinat. Mereka adalah wilayah hidup, sejarah, dan kehormatan Aceh.
Dan Aceh, dengan segala kompleksitas sejarahnya, seperti sudah terjadi, tidak akan diam begitu saja melihat wilayahnya dicaplok paksa. Pemerintah Aceh, DPR Aceh, dan elemen masyarakat sipil harus mendorong pembatalan SK itu.