Sebelum ke Aceh Kami Takut
Oleh: dr I Nyoman Rudi Susantha SpOG SubspFER(K) MARS*
“dr. Rudi, kita berangkat Muktamar XXXI IDI Aceh 22-25 Maret ya,” kata Dr dr Made Sudarmaja kira-kira seminggu sebelum berangkat.
Saat itu di pikiran saya berkecamuk, apakah saya harus pakai kopiah, yang wanita harus pakai jilbab, terbayang juga hukuman cambuk.
Di pikiran saya pun terbersit imajinasi yang salah, jangan-jangan saya nggak diterima masyarakat di sana karena beda keyakinan, keamanan Aceh bagaimana, dan banyak lagi imajinasi negatif di pikiran kami.
Kira-kira seminggu sebelum berangkat, kami masuk WhatsApp Grup (WAG) yang dikomandani Bapak Jamaludin sebagai Kadisbudpar Aceh, koordinasi beliau dengan staf yang begitu hangat sedikit mengobati kegalauan kami.
Respon pak Kadis dalam menjawab pertanyaan teman-teman di grup, apakah pertanyaan dalam hal transportasi, atau pun dalam bidang adat istiadat di situ memberikan sedikit gambaran tentang situasi di sana.
Saat hari H pun tiba, kami berangkat dari Bali dengan Batik Air menuju Jakarta-Medan-Aceh. Bangun pukul 05.00 Wita dan tiba pukul 17.00 Wita.
Perjalanan yang sangat melelahkan, tiba di bandara, kami dijemput oleh tim Disbudpar Aceh, dan kami bertemu dengan sosok nyata Bapak Jamaludin yang selama ini kami kenal lewat WAG yang ikut menjemput di bandara.
Seperti kata-kata dalam iklan, kesan pertama begitu menggoda selanjutnya terserah anda.
Ternyata betul kesan pertama pak Kadis luar biasa, kami seakan-akan kenal sudah lama, keakraban pun terbangun di antara kami, dan ternyata istri pak Kadis juga seorang dokter yang sangat ramah, seorang dokter Nephrologi.
Hari pertama jamuan beliau sangat memukau, hari kedua suguhan Aceh Street Food Festival lebih memukau lagi, bahkan saya dapat kesempatan menyanyi di acara itu, tidak berhenti sampai di situ hari ketiga pun kami disuguhin Festival Kopi dengan sajian bermacam-macam kopi kas Aceh.
Kehangatan dan keramahan warga Aceh sangat terasa sampai saat ini.
Di Acara pembukaan Muktamar ke-31 IDI, kami sangat terkesan dengan budaya Aceh, pertunjukan drama musikal Cut Nyak Dhien yg menggambarkan keberanian wanita Aceh dalam memegang prinsip hidup, dan tarian Aceh dengan nuansa islami sungguh indah ditonton.
Namun dari semua sajian saat pembukaan, ada yang sangat berkesan di hati kami, yaitu pidato Bapak Gubernur Aceh, ucapan kata Om Swastiastu beliau sangat sejuk kami dengar di Bumi Serambi Mekkah.
Dan kata-kata beliau yang saya ingat adalah beliau mengibaratkan perbedaan itu sebagai sebuah orkestra musik, dimana harmoni akan terbentuk ketika satu sama lainnya saling melengkapi, kata-kata yang singkat namun memiliki makna yang luar biasa, keramah tamahan masyarakat Aceh juga sangat membuat kami betah di Aceh.
Seberapapun keinginan kami untuk menikmati keindahan alam Aceh dan nikmatnya kopi Aceh dan masakan Aceh terutama Mie Aceh dan ayam tangkap, namun waktu juga yang mengharuskan kami meninggalkan tanah Aceh.
Sambutan hangat Pak Kadisbudpar di Aceh kami anggap sebagai representasi dari keramahan masyarakat Aceh.
Jujur tidak ada kata lagi yang bisa terucap dari bibir kami, selain ucapan terima kasih. Kami tunggu Pak Kadis bersama keluarga, staf Kadisbudpar Aceh yang ramah di Bali.
Atas nama pribadi dan IDI Bali kami ucapkan terima kasih kepada pihak panitia dan Pemerintah Aceh yang sudah menyambut kami dengan ramah dan hangat sehangat kopi Solong.
Akhirnya atas nama keluarga gajah, kami mohon maaf belum bisa memberikan gading yang sempurna, dan kami minta maaf bila ada di antara kami yang bersikap kurang berkenan di hati masyarakat Aceh.
Kami yakin kesempurnaan itu hanya ada pada Tuhan, dan kekurangan itu ada pada kami.
Terimalah sebuah pantun dari saya:
“Perangkat daerah tidak boleh marah, pohon beringin ujungnya sangat tinggi.
Masyarakat Aceh sangat shaleh dan ramah, mohon izinin kami berkunjung lagi kesini”.
Langit Aceh, 25 Maret 2022
Hormat Kami
dr I Nyoman Rudi Susantha SpOG SubspFER(K) MARS
*Penulis: Wakil Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Bali