Stunting, Masa Depan Generasi Aceh Mengkhawatirkan
Oleh: dr Ida Mulyani*
BERDASARKAN data hasil Sensus Penduduk tahun 2020 yang telah dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia akan mendapatkan bonus demografi pada tahun 2045 dimana jumlah penduduk usia produktif akan lebih banyak daripada usia non-produktif dimana saat ini mayoritas penduduk Indonesia didominasi oleh generasi milineal (kelahiran 1981-1996) sebanyak 25,87% dan generasi Z (kelahiran 1997–2012) sebanyak 27,94%.
Tentunya hal ini menjadi keberkahan bagi Indonesia khususnya Aceh dalam meningkatkan kualitas daerah dan pertumbuhan ekonomi jika sumber daya manusia (SDM) dapat dimanfaatkan dengan baik.
Namun, dalam mendapatkan SDM yang baik tentunya harus memiliki persiapan yang baik pula, kuantitas SDM harus sebanding dengan kualitas SDM agar mencapai kemajuan dan kesejahteraan seperti yang diharapkan.
Mempersiapkan SDM yang berkualitas tidak bisa dibentuk dalam hitungan hari ataupun bulan, perlu waktu bertahun-tahun untuk menyiapkan suatu generasi penerus bangsa yang berkualitas dan siap bersaing di masa yang akan datang.
Salah satu hal yang dapat menghambat terbentuknya kualitas SDM adalah masalah kesehatan seperti stunting.
Stunting adalah suatu gangguan tumbuh kembang anak pada usia dibawah 5 tahun yang disebabkan kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu yang lama, adanya infeksi yang berulang, dan adanya gangguan simulasi psikososial yang tidak memadai.
Tentu saja ini menjadi ancaman nyata untuk generasi penerus bangsa ke depannya, berdasarkan data dari hasil Studi Kasus Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 prevelensi stunting di Indonesia mengalami penurunan sebesar 3,3% menjadi 24,4%, dari sebelumnya 27,7% pada tahun 2019.
Saat ini Aceh menempati posisi ketiga kasus stunting di Indonesia dengan prevelensi kasusnya mencapai 33,2% (di atas rata – rata kasus nasional) dimana Kabupaten Gayo Lues menempati posisi pertama stunting dengan prevelensi angka kejadian sebanyak 42,9%, diikuti Kabupaten Subulussalam sebanyak 41,8% dan Kabupaten Bener Meriah sebanyak 40,0%.
Sementara ambang batas toleransi yang direkomendasikan oleh organisasi kesehatan dunia WHO (World Health Organizations) tentang jumlah stunting yaitu hanya 20%.
Tidak ada satupun kasus stunting pada kabupaten/kota di Aceh yang berada di bawah ambang toleransi WHO. Jika hal ini terus dibiarkan dikhawatirkan generasi Aceh memiliki daya saing yang rendah di masa depan.
Penyebab stunting adalah kurangnya asupan gizi pada anak terutama pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK) mulai dari masa konsepsi (pembuahan sel telur).
Sehingga calon ibu harus sangat memperhatikan kesehatan dirinya dan asupan gizi yang cukup agar nutrisi selama kehamilan terpenuhi dengan baik. Pada usia kehamilan 3 bulan terjadi perkembangan otak janin sehingga diperlukan asupan nutrisi yang baik dan memadai bagi ibu hamil agar janin dalam kandungan juga mendapatkan nutrisi yang cukup untuk tumbuh kembangnya.
Penting bagi ibu hamil mengonsumsi tablet penambah darah dalam masa kehamilannya untuk mencegah anemia (kekurangan sel darah merah sehat atau hemoglobin) yang dapat menyebabkan sel-sel dalam tubuh tidak mendapat cukup oksigen dan tidak berfungsi secara normal dan dapat menyebabkan anak lahir dengan gangguan tumbuh kembang seperti stunting.
Ibu hamil dengan asupan gizi yang rendah dan mengalami penyakit infeksi akan melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan dapat menyebabkan panjang badan bayi dibawah standar.
Tentu saja hal ini sangat merugikan si anak dimana ia akan mengalami penurunan perkembangan kognitif, sensorik dan motorik sehingga akan mengakibatkan penurunan kapasitas produktif.
Asupan gizi yang baik untuk bayi juga dipengaruhi oleh pola asuh seperti pemberian ASI, melakukan inisiasi menyusui dini (IMD), pemberian ASI eklusif selama 6 bulan, dan pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) yang benar.
Selain itu stunting juga dipengaruhi oleh faktor sanitasi/kebersihan dimana hal ini akan berdampak dengan pertumbuhan anak. Anak yang sering mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh bakteri maupun virus akan menyebabkan anak dapat mengalami gangguan saluran pencernaaan bahkan mengalami infeksi usus sehingga saat anak tersebut sakit nafsu makan akan menurun, penyerapan gizi akan berkurang dan mempengaruhi kebutuhan gizi anak yang berujung tejadinya gangguan tumbuh kembang anak.
Terdapat beberapa ciri–ciri stunting yang dapat dilihat oleh para orangtua pada anak, yaitu:
● Melihat kurva tumbuh kembang anak dari WHO, dengan melakukan pengukuran tinggi badan yang disesuaikan dengan usia. Jika kurva menunjukkan hasil <2 SD (Standar Deviasi) maka anak mengalami stunting. Kegiatan ini dapat dilakukan secara mandiri dirumah ataupun membawa anak ke posyandu terdekat.
● Anak mudah diserang berbagai penyakit
● Pertumbuhan gigi melambat
● Berat badan anak tidak naik, bahkan cenderung menurun
● Memiliki kemampuan fokus dan daya ingat yang tidak baik
● Anak menjadi lebih pendiam dan kurang atau bahkan tidak mau melakukan kontak mata dengan orang sekitar
● Saat menginjak remaja, anak perempuan akan terlambat mendapatkan menstruasi
Pemerintah sangat serius menangani stunting.
Komitmen untuk penurunan stunting diwujudkan dalam kebijakan nasional penurunan stunting melalui Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi yang mengintegrasikan pelayanan kesehatan, terutama kesehatan ibu, anak dan pengendalian penyakit dengan pendekatan berbagai program dan kegiatan yang dilakukan lintas sektor.
Implementasi perbaikan gizi juga dituangkan ke dalam Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2015-2019. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) tahun 2018 yang dilansir oleh Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementrian Kesehatan Republik Indonesia terjadi penurunan kasus stunting di Indonesia, namun tentu saja kita tidak boleh lengah dan harus terus melakukan pencegahan stunting ini.
Jika anak sudah mengalami stunting, para orangtua tidak perlu panik karena tumbuh kembangnya masih dapat diperbaiki dengan berbagai cara intervensi yang dapat dilakukan dalam masa 1000 HPK.
Semakin cepat diketahui, maka akan semakin cepat penangan yang dilakukan walaupun membutuhkan proses yang tidak instan.
Permasalahan stunting ini akan berdampak pada kualitas SDM dalam jangka pendek dan jangka panjang, dimana juga terdapat kontribusi balita stunting terhadap 1,5 juta (15%) kematian balita di dunia dan menyebabkan hilangnya masa hidup setiap tahun.
Dalam jangka pendek terjadinya gangguan perkembangan kognitif dan motorik anak diikuti dengan dampak jangka panjang yang menyebabkan penurunan kapasitas intelektual anak dikarenakan gangguan struktur dan fungsi saraf serta sel – sel otak yang bersifat permanen sehingga anak akan mengalami penurunan kemampuan menyerap pelajaran di usia sekolah dan mempengaruhi produktifitasnya saat dewasa.
Tentu saja hal ini juga akan berdampak dalam kehidupan sosialnya sehari – hari. Sehingga diperlukan kerja sama dari semua pihak untuk mencegah dan menurunkan angka stunting di Indonesia serta Aceh khususnya.
Bangsa Aceh adalah bangsa yang kuat dan telah dibuktikan oleh sejarah, sekarang tugas kita bersama untuk terus mempertahankan dan meningkatkan kehebatan tersebut dengan memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbaik.
Ayo sama-sama kita wujudkan Aceh bebas stunting dengan saling peduli dan sadar akan pertumbuhan perkembangan anak. Negara di masa depan ada di tangan anak cucu kita, jangan sia-siakan bonus demografi yang Insya Allah akan kita dapati.