Tasawuf dan Geopolitik: Kekuatan Sunyi yang Terlupakan
Oleh :Eko Ernada*
DALAM dunia yang kian gaduh oleh konflik identitas, polarisasi Politik, dan krisis kemanusiaan, Islam sering tampil dalam narasi yang tegang dan defensif. Representasi Islam di panggung internasional lebih sering dikaitkan dengan kekuasaan, pertarungan ideologi, dan kepentingan politik global.
Sementara warisan spiritual Islam yang telah lama terbukti membentuk peradaban lintas batas—yakni tasawuf dan tarekat—perlahan memudar dari radar percakapan strategis umat.
Padahal, dalam bentangan sejarah Islam, para sufilah yang menjadi aktor kunci dalam membangun jembatan antara peradaban.
Mereka menyebarkan Islam tidak dengan kekuatan militer, tetapi dengan kelembutan akhlak, kedalaman makna, dan kepekaan budaya. Dari Maroko hingga India, dari Istanbul hingga Nusantara, para sufi hadir sebagai penutur damai di tengah keragaman sosial dan agama.
Di Nusantara, Islam hadir bukan melalui penaklukan, tetapi melalui pendekatan sufistik. Para wali yang menyebarkan Islam di abad ke-15 dan 16 adalah para mursyid tarekat yang memahami struktur budaya lokal, menghargai tradisi, dan menyisipkan ajaran tauhid melalui medium seni, sastra, serta praksis sosial.
Mereka tidak hanya mengislamkan masyarakat, tetapi juga membentuk fondasi sosial dan etika publik yang menopang kohesi masyarakat selama berabad-abad.
Jejak serupa juga terjadi di Afrika Barat, di mana Tarekat Tijāniyah dan Qadiriyah memainkan peran penting dalam pembentukan identitas kolektif melawan kolonialisme.
Di Asia Tengah, jaringan Naqsyabandiyah membentangkan pengaruh spiritual yang melampaui batas kerajaan dan bangsa, membentuk ruang kosmopolitan yang menghubungkan Samarkand, Kabul, dan Istanbul melalui jalur ilmu dan ruhaniyah.
Namun kini, dalam era di mana umat Islam menghadapi krisis global—mulai dari perang saudara, pengungsi, konflik sektarian hingga degradasi lingkungan—kontribusi tarekat nyaris absen dalam percakapan resmi umat.
Ketika para pemimpin dunia Islam duduk bersama, yang dibahas adalah blok politik, regulasi syariah, dan aliansi ekonomi. Ruang spiritualitas kolektif yang menenangkan dan menyatukan justru tersingkir dari forum-forum penting.