Buku ‘Dua Dekade Damai Aceh’ Diluncurkan, BRA Harap Pendidikan Damai Masuk Kampus
Prof. Kamaruzzaman yang tampil sebagai pembedah pertama menjelaskan, narasi tentang damai Aceh sudah banyak ditulis sejak tahun 2005.
Kajian tentang perdamaian Aceh telah melahirkan banyak doktor. Karena itu ia berharap agar UIN Ar-Raniry bisa membuka program doktoral peace education.
“Aceh merupakan laboratorium ilmu sosial. Konflik di Patani bagian selatan Thailand dan Mindanao di Filipina belum usai. Pengalaman Aceh bisa menjadi semacam lesson learned untuk penyelesaian konflik di Asia Tenggara bahkan Timur Tengah,” ujarnya.
Pembedah kedua, Adli Abdullah menilai buku Dua Dekade Damai bagus dalam kontek penulisan sejarah perdamaian Aceh. Tapi perlu ada evaluasi terhadap apa saja yang sudah dicapai dalam perjalanan 20 tahun perdamaian Aceh.
“Secara dokumentasi buku ini sangat berguna untuk penulisan buku-buku lain tentang perdamaian Aceh. 20 tahun damai adalah babak, bukan akhir cerita. Buku ini bagian dari sejarah itu sendiri,” ungkapnya.
Hal yang sama disampaikan Dr Rasyidah, penulisan buku secara kronologis dari satu momentum ke momentum lain dalam proses perdamaian Aceh, mampu mengcapture jalannya damai Aceh dengan baik.
“Seolah-olah seperti sebuah film yang hidup, mengambil fokus-fokus tertentu sebagai penekanan. Pendekatan yang diakronik memudah pembaca memahami jalan damai Aceh dari waktu ke waktu secara kronologis,” nilainya.
Pembedah lainnya Reza Indria berharap buku ada kelanjutan dari penulisan buku sejarah perdamaian Aceh, untuk mengisi beberapa kekosongan yang belum sepenunya tercover dalam buku tersebut.
“Buku ini menawarkan suatu kronik sejarah yang penting, yang nantinya bisa digunakan untuk penulisan buku lainnya. Momentum dua dekade damai ini bisa menjadi acuan pendidikan damai dalam kurikulum pendidikan tinggi. Minimal menjadikannya sebagai mata kuliah wajib di universitas,” sarannya.
Pembedah lainya Muazinah Yakob menilai buku Dua Dekade Damai Aceh masih perlu disempurkan atau ada penulisan buku lainnya yang lebih komprehensi tentang perdmaian Aceh.
“Buku ini belum membahas dua hal, bagaimana memperoleh damai dan bagaimana merawat damai. Tidak menyebut bagaimana tata kelola proses damai itu sendiri,” kritiknya.