Disdik Aceh Anggarkan Rp7 Miliar untuk Proyek Tong Sampah di Sekolah
Infoaceh.net, BANDA ACEH – Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh menganggarkan anggaran mencapai Rp 7 miliar untuk pengadaan sembilan paket sarana kebersihan tempat sampah jenis plastik HDPE murni untuk SMA di delapan kabupaten/kota.
Pengadaan tersebut tercantum
dalam Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP) Dinas Pendidikan Aceh tahun anggaran 2025.
Sembilan paket pengadaan sarana kebersihan tempat sampah jenis plastik HDPE murni itu, dua di antaranya untuk SMA di Kabupaten Bireuen masing-masing dengan pagu Rp900 juta dan Rp700 juta.
Kemudian tujuh paket lainnya untuk SMA di Kabupaten Aceh Besar pagu Rp1 miliar, Aceh Utara Rp1 miliar, Aceh Timur Rp1 miliar, Aceh Tamiang Rp700 juta, Aceh Tengah Rp700 juta, Kota Lhokseumawe Rp500 juta dan Langsa Rp500 juta.
Sembilan paket pengadaan barang bersumber dari APBA tahun 2025 dengan metode pemilihan E-purchasing itu diumumkan pada 10 Maret 2025.
Rencana pengadaan tong sampah tersebut langsung menuai kritikan.
Pengamat Pendidikan Aceh Dr Samsuardi, mengkritik kebijakan pengadaan tong sampah untuk SMAN delapan kabupaten/kota di Aceh itu. Pengadaan ini dinilai tidak relevan dan mencerminkan kegagalan prioritas di bawah kepemimpinan Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Marthunis.
Samsuardi yang juga Ketua Lembaga Pemantau Pendidikan Aceh (LP2A) itu menyebut kebijakan tersebut sebagai ironi yang menyakitkan di tengah banyaknya persoalan mendasar di sektor pendidikan Aceh.
Ia mempertanyakan urgensi pengadaan fasilitas pendukung yang seharusnya bisa dipenuhi oleh sekolah melalui dana operasional.
“Ini keputusan yang sama sekali tidak menjawab masalah inti pendidikan Aceh. Literasi dan numerasi siswa rendah, kualitas pengajaran masih lemah, pelatihan guru minim, tapi yang dipilih adalah proyek tong sampah,” kata Samsuardi dalam keterangannya, Kamis (24/4/2025).
Ia menuding kebijakan itu lahir dari pendekatan birokrasi yang tidak memahami kebutuhan riil satuan pendidikan. Menurutnya Kadis Pendidikan Aceh gagal menyusun skala prioritas kebijakan.
“Tong sampah bisa dibeli sekolah dengan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Mengapa harus intervensi dari provinsi, dengan nilai fantastis dan jangkauan terbatas. Ini bukan hanya tidak sensitif, tapi juga mencurigakan,” tegasnya.
Proyek yang hanya menyasar delapan dari 23 kabupaten/kota di Aceh itu, menimbulkan pertanyaan serius tentang kesetaraan akses dan dasar analisis kebijakan.
Samsuardi menyebut proyek ini lebih mirip upaya “serapan anggaran” ketimbang jawaban atas kebutuhan pendidikan.
“Jika memang darurat, kenapa tidak semua daerah dapat? Dan kalau tidak darurat, kenapa anggarannya sebesar itu? Logikanya tidak nyambung,” ungkapnya.
Untuk itu, ia meminta Kadis Pendidikan Aceh membuka seluruh dokumen perencanaan dan pengadaan proyek secara transparan. Menurut dia, penggunaan anggaran publik tanpa akuntabilitas adalah bentuk pelanggaran terhadap kepercayaan masyarakat.
“Marthunis harus tampil dan bertanggung jawab. Jangan bersembunyi di balik jargon pembangunan. Publik berhak tahu, dan jika ini proyek tanpa urgensi, maka ini adalah pemborosan yang harus diusut,” tegasnya.
Pendidikan Aceh juga tidak akan pernah maju jika kebijakannya terus berputar pada proyek simbolik. “Yang dibutuhkan adalah intervensi pada substansi: guru yang kompeten, pelatihan bermutu, bahan ajar yang layak, dan manajemen sekolah yang profesional. Bukan proyek tong sampah,” pungkasnya.