PPIM UIN Jakarta Luncurkan Buku: Santri Putra Lebih Rentan Kekerasan Seksual di Pesantren
Jakarta, Infoaceh.net – Pusat Penelitian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta meluncurkan dua buku hasil riset mendalam bertajuk Menuju Pesantren Ramah Anak dan Menjaga Marwah Pesantren.
Peluncuran dilakukan dalam acara yang digelar di Hotel Ashley, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (8/7/2025).
Dua buku ini merangkum hasil penelitian komprehensif mengenai lingkungan pesantren di Indonesia, dengan fokus pada isu perlindungan anak dan pencegahan kekerasan seksual.
Direktur Riset PPIM UIN Jakarta, Iim Halimatusa’diyah, menuturkan bahwa buku ini merupakan kontribusi akademik untuk memastikan pesantren tetap menjadi lembaga luhur yang aman dan ramah anak. Ia menyebut penelitian dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif, mencakup survei nasional tahun 2023 terhadap 1.800 responden di 90 pesantren dari 34 provinsi. Tahun 2024, penelitian dilanjutkan dengan wawancara mendalam kepada 170 informan dari 17 pesantren dan 12 lembaga di 13 provinsi.
“Menuju Pesantren Ramah Anak memetakan implementasi kebijakan Pesantren Ramah Anak berdasarkan hasil survei, termasuk persepsi, praktik baik, hingga tantangan lapangan,” ujar Iim. Sedangkan buku Menjaga Marwah Pesantren mengulas kerentanan dan ketahanan pesantren terhadap kekerasan seksual, serta menawarkan strategi pencegahan dan penanganan.
Salah satu temuan mengejutkan terungkap dari laporan riset tersebut. Windy Triana, Koordinator Peneliti PPIM UIN Jakarta, menyebut bahwa santri laki-laki ternyata lebih rentan mengalami kekerasan seksual dibandingkan santri perempuan. Berdasarkan hasil survei, tercatat 1,90 persen santri laki-laki (sekitar 40.689 anak) mengalami kekerasan seksual, dibandingkan 0,20 persen santri perempuan (sekitar 3.923 anak).
“Santri putra lebih rentan. Banyak kasus perundungan dan kekerasan seksual terselubung dalam bentuk candaan, dianggap sebagai hal biasa oleh sesama santri laki-laki,” ujarnya.
Windy menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama kerentanan santri laki-laki ialah ketimpangan sistem perlindungan. Selama ini, perhatian dan pengamanan lebih banyak diberikan kepada santri perempuan, mulai dari tata letak kamar, akses kamar mandi, hingga pengawasan rutin. Sebaliknya, santri laki-laki diasumsikan mampu menjaga diri sendiri, padahal faktanya mereka justru lebih minim perlindungan.
Survei PPIM juga mengelompokkan ketahanan pesantren terhadap kekerasan seksual dalam tiga kategori: tinggi, moderat, dan rendah. Sebagian besar pesantren berada dalam ketahanan moderat, artinya memiliki sistem dasar perlindungan tetapi belum cukup kuat untuk mencegah kekerasan.
“Budaya relasi kuasa dan tertutup menjadi penghalang besar dalam penanganan kasus. Bahkan pemulihan terhadap korban kerap terabaikan,” kata Windy.
Hal senada disampaikan Peneliti PPIM lainnya, Haula Noor. Ia menekankan bahwa desain struktural pesantren perlu dievaluasi ulang, terutama pengawasan terhadap area santri laki-laki.
“Selama ini perhatian lebih banyak diberikan pada keamanan kamar santri putri. Padahal data menunjukkan kamar santri putra juga perlu pengawasan ketat,” jelas Haula
Sementara itu, Dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Falikul Isbah, dalam bedah buku menyoroti adanya pemahaman keliru soal kekerasan seksual di pesantren. Beberapa informan dalam riset menyebut kasus pemerkosaan sebagai zina, bahkan dalam beberapa kasus korban justru dinikahkan dengan pelaku.
Menurut Falikul, masih banyak pengasuh pesantren dan ustaz/ustazah yang memiliki tafsir agama yang bias gender dan misoginis. Ia mencontohkan masih kuatnya budaya patriarki dan ketundukan mutlak terhadap figur kiai, yang membuat koreksi internal sulit dilakukan.
“Di beberapa daerah, terutama Jawa Timur dan Madura, ketaatan kepada kiai bahkan melekat dalam kebiasaan santri sehari-hari. Sistem otoritas tunggal dalam pengasuhan santri membuat penyimpangan tak mudah dikoreksi,” ungkapnya.
Falikul mendukung regulasi Kementerian Agama terkait perlindungan anak di pesantren, namun ia menilai langkah itu tidak cukup tanpa strategi edukasi yang menyentuh langsung komunitas pesantren.
“Kemenag sudah bagus dengan regulasi, tapi tantangannya adalah bagaimana menyampaikannya kepada para kiai, ustaz, dan santri. Dibutuhkan pendekatan yang tepat dan menyeluruh,” tegasnya.
Dalam penutup diskusi, Windy kembali menekankan pentingnya keterbukaan pesantren terhadap kerja sama dengan pihak luar. Menurutnya, keterbukaan bukan berarti intervensi, tetapi wujud komunikasi sehat dan saling mendukung dalam menangani isu kekerasan.
“Ketika pesantren bersikap terbuka, masyarakat lebih percaya dan proses perlindungan anak bisa berjalan lebih efektif,” ujarnya.
Windy menyadari banyak pesantren belum memiliki kapasitas memadai untuk pendampingan korban kekerasan. Oleh karena itu, ia mendorong sinergi dengan lembaga eksternal agar pesantren tetap menjadi tempat yang aman, mendidik, dan menjaga marwahnya sebagai lembaga keagamaan.