Dek Gam Desak Mendagri Kembalikan Empat Pulau Aceh yang Masuk Sumut
Jakarta, Infoaceh.net – Anggota DPR RI asal Aceh, Nazaruddin Dek Gam, mendesak Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian untuk segera mengembalikan empat pulau yang kini tercatat sebagai bagian dari wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara (Sumut) ke Provinsi Aceh.
Ia menyebut langkah Kementerian Dalam Negeri yang memasukkan keempat pulau tersebut ke Kabupaten Tapanuli Tengah sebagai tindakan yang tidak berdasar dan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat Aceh.
Empat pulau yang menjadi sorotan tersebut adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek.
Keempatnya terletak di wilayah pesisir barat Sumatra yang selama ini dikenal sebagai bagian dari Aceh Singkil.
“Pulau-pulau itu sejak lama dihuni oleh masyarakat Aceh dan secara administratif pun warga di sana memegang KTP Aceh. Ini fakta yang tidak bisa dipungkiri. Saya minta Mendagri segera mengoreksi keputusannya dan mengembalikan pulau-pulau itu ke Aceh,” kata Dek Gam, Rabu (11/6/2025).
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu menilai bahwa keputusan Kemendagri yang dituangkan dalam Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau adalah langkah gegabah dan tanpa kajian sosial-historis yang memadai.
“Saya tidak melihat alasan yang rasional kenapa empat pulau itu tiba-tiba dialihkan ke Sumatera Utara. Dari dulu warga di sana tidak pernah merasa bagian dari Sumut. Mereka punya dokumen sah, bahkan ada prasasti yang dibangun Pemkab Aceh Singkil sejak 2008,” tegasnya.
Dek Gam menegaskan, klaim administratif berdasarkan data geospasial tidak bisa serta-merta mengabaikan fakta sosial, kultural, dan sejarah kependudukan yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Ia menilai Mendagri seharusnya bersikap bijak dan peka terhadap dinamika masyarakat daerah, bukan malah memicu ketegangan.
“Ini bukan hanya soal administrasi, ini soal identitas dan sejarah masyarakat Aceh. Mendagri jangan cawe-cawe urusan yang menambah polemik. Lebih baik beliau fokus mengurus persoalan besar lain yang lebih mendesak,” kritiknya.
Sebelum keputusan terbaru Kemendagri, keempat pulau tersebut tercatat sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Aceh Singkil. Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil bahkan telah membangun prasasti penanda di pulau-pulau tersebut pada tahun 2008 sebagai bentuk penguatan simbolik dan legal atas klaim wilayah.
Masyarakat setempat, menurut Dek Gam, tidak hanya memiliki KTP Aceh, tetapi juga memiliki akses terhadap pelayanan publik dari pemerintah Aceh, termasuk pendidikan dan kesehatan.
“Selama ini tidak ada satupun layanan publik dari Sumut yang hadir di sana. Jadi bagaimana bisa tiba-tiba mereka diklaim sebagai bagian dari Tapanuli Tengah?” ujarnya.
Dek Gam juga mengingatkan bahwa Aceh memiliki kekhususan dan otonomi khusus yang diakui secara nasional, sehingga kebijakan apapun yang menyangkut batas wilayah harus dilakukan secara transparan dan melibatkan pemerintah daerah serta masyarakat.
Menanggapi sorotan yang muncul dari berbagai pihak, Mendagri Tito Karnavian menyatakan bahwa keputusan tersebut didasarkan pada kajian teknis dan objektif yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara yang berwenang.
Ia menegaskan pemerintah pusat tidak memiliki kepentingan politik dalam menentukan status empat pulau itu.
“Penetapan batas wilayah dilakukan berdasarkan hasil penelitian dari Badan Informasi Geospasial (BIG), TNI Angkatan Laut, dan Topografi Angkatan Darat. Batas darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah sudah disepakati dan ditandatangani kedua belah pihak. Hanya batas lautnya yang belum sepenuhnya diselesaikan,” kata Tito saat memberikan keterangan di Istana Kepresidenan, Selasa (10/6).
Tito menyampaikan bahwa proses ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menertibkan administrasi wilayah dan memperjelas batas-batas pemerintahan demi kepentingan pembangunan dan pelayanan publik.
Namun demikian, keputusan tersebut tetap menuai kritik dan kekhawatiran dari masyarakat Aceh. Dek Gam memperingatkan bahwa jika isu ini tidak diselesaikan secara adil dan transparan, bukan tidak mungkin akan menimbulkan gesekan sosial dan politik di lapangan.
“Pemerintah pusat jangan bermain-main dengan urusan tapal batas, apalagi di wilayah seperti Aceh yang memiliki sejarah panjang konflik dan perjuangan,” ujarnya.
Ia pun mendesak Mendagri segera mengundang perwakilan dari Pemerintah Aceh, DPR Aceh, serta tokoh-tokoh masyarakat untuk duduk bersama dan mencari solusi yang damai dan adil atas sengketa ini.
“Pulau itu bukan hanya soal tanah, tapi soal harga diri dan identitas. Jika pemerintah pusat tidak segera menuntaskan ini secara benar, saya khawatir akan muncul resistensi yang lebih besar dari masyarakat Aceh,” pungkasnya.