Harga Beras Tak Turun Meski Stok Bulog Melimpah, DPR: Ada Mafia Pangan Hisap Petani dan Rakyat
Semarang, Infoaceh.net – Anomali harga beras kian mencolok. Meski stok di gudang Bulog dilaporkan melimpah, harga di pasar tetap tinggi dan menyengsarakan rakyat. Fenomena ini dinilai menabrak logika dasar hukum ekonomi—di mana saat barang berlimpah, harga seharusnya turun.
Anggota Komisi IV DPR RI, Riyono dari Dapil 7 Jawa Timur, mengkritik tajam kondisi tersebut. Ia menyebut ada ketidakberesan serius dalam rantai distribusi pangan dari hulu ke hilir yang telah memberi ruang luas bagi para spekulan dan mafia pangan.
“Para spekulan ini justru memanfaatkan rantai distribusi panjang untuk mengatur harga seenaknya. Mereka menyedot keuntungan besar, sementara petani cuma dapat recehan,” ujar Riyono, Sabtu, 8 Juni 2025.
Pernyataan Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, sebelumnya menyebut secara terbuka bahwa harga pangan—termasuk beras—dikuasai mafia. Dugaan ini sejalan dengan temuan-temuan DPR di lapangan.
Riyono menegaskan, praktik kartel pangan melibatkan tengkulak, importir besar, dan pemain data. Mereka memonopoli dari sektor produksi hingga distribusi, bahkan memanipulasi opini publik soal “krisis” demi mendapatkan kuota impor lebih banyak.
“Petani hanya untung jutaan, tengkulak dan importir bisa kantongi triliunan. Ini bertentangan dengan cita-cita swasembada pangan yang seharusnya menyejahterakan petani,” tegasnya.
Ia menyebut akar masalah terletak pada ketidakjelasan distribusi pangan, yang membuka ruang subur bagi rente ekonomi. Salah satu pintu masuknya adalah impor yang dijadikan solusi semu setiap kali ada tekanan harga.
“Celah itu bernama impor. Ini harus ditutup. Pemerintah harus pastikan swasembada pangan lahir dari tangan petani kita sendiri, bukan dari lobi para pemburu rente,” katanya.
Riyono mengutip data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menemukan kerugian triliunan rupiah di sektor pangan, serta pernyataan mantan Kepala Bulog Budi Waseso (Buwas) yang menyebut praktik mafia pangan dalam program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) tahun 2019 menyebabkan kerugian hingga Rp5 triliun.
Lebih lanjut, ia mendorong agar revisi UU Pangan ke depan mengakomodir porsi kontrol negara terhadap minimal 20% urusan pangan nasional, guna menjamin ketahanan dan kedaulatan pangan yang tidak dikendalikan pasar semata.
“Negara tidak boleh kalah oleh siapapun. Kepentingan rakyat harus di atas segalanya. Jangan ada yang main-main dengan urusan perut rakyat,” pungkasnya.