Diamnya Wakil Wali Kota Banda Aceh Lihat Pelari Bercelana Pendek, Antara Toleransi dan Ketidaktegasan Penegakan Syariat
Oleh: Samsuwar*
FKIJK Aceh Run 2025, sebuah ajang lari maraton yang diselenggarakan di kota Banda Aceh, kembali menjadi sorotan.
Bukan karena prestasi atletik atau antusiasme peserta, melainkan karena munculnya pelari yang mengenakan celana pendek—yang dianggap melanggar syariat Islam yang berlaku di Aceh.
Yang lebih mengundang perhatian adalah sikap diam Wakil Wali Kota Banda Aceh Afdhal Khalilullah yang hadir dalam acara tersebut, namun tidak memberikan respons terhadap pelanggaran tersebut.
Syariat Islam dan Kearifan Lokal
Aceh dikenal sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam secara formal. Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar menjadi landasan hukum bagi penegakan nilai-nilai Islam di ruang publik.
Dalam konteks ini, berpakaian sopan sesuai syariat merupakan bagian dari identitas dan kearifan lokal masyarakat Aceh.
Ketua Komisi C Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh Tgk Umar Rafsanjani, menyoroti fenomena semakin maraknya laki-laki di Banda Aceh yang mengenakan celana pendek di tempat umum.
Menurutnya, perilaku ini bertentangan dengan syariat Islam yang menjadi landasan hukum di Aceh.
Sikap Diam Wakil Wali Kota: Toleransi atau Ketidaktegasan?
Kehadiran Wakil Wali Kota Banda Aceh Afdhal Khalilullah dalam FKIJK Aceh Run 2025 tanpa memberikan tanggapan terhadap pelari yang mengenakan celana pendek menimbulkan pertanyaan.
Apakah sikap diam tersebut merupakan bentuk toleransi terhadap peserta dari luar daerah yang mungkin tidak memahami aturan lokal?
Ataukah mencerminkan ketidaktegasan dalam menegakkan syariat Islam?
Ketua Humas Ikatan Alumni Mahasiswa Dayah (IKA Dayah), Furqan Fikri, menyoroti fenomena maraknya laki-laki di Banda Aceh yang mengenakan celana pendek di tempat umum.
Menurutnya, fenomena ini bertentangan dengan syariat Islam yang menjadi dasar hukum di Aceh, sekaligus mencoreng identitas daerah yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
Dilema Antara Inklusivitas dan Penegakan Syariat
FKIJK Aceh Run 2025 diikuti oleh peserta dari berbagai daerah, bahkan mancanegara. Dalam konteks ini, penyelenggara menghadapi dilema antara menjaga inklusivitas acara dan menegakkan syariat Islam.
Di satu sisi, aturan berpakaian yang ketat dapat mengurangi partisipasi peserta dari luar. Di sisi lain, pelanggaran terhadap syariat dapat menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat lokal.
Rektor UIN Ar-Raniry, Prof Mujiburrahman, menyampaikan keprihatinannya terhadap dominasi pelanggar yang merupakan laki-laki dengan celana pendek. Ia menekankan pentingnya kesadaran akan pentingnya busana yang mencerminkan nilai-nilai keislaman.
Peran Pemerintah dan Aparat Penegak Syariat
Pemerintah Kota Banda Aceh memiliki tanggung jawab dalam menegakkan syariat Islam, termasuk melalui Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (WH).
Plt. Kepala Satpol PP-WH Banda Aceh Muhammad Rizal menyatakan pihaknya mulai menegur dan mengambil tindakan tegas terhadap kaum laki-laki yang masih memakai celana pendek di tempat umum.
Namun, dalam konteks FKIJK Aceh Run 2025, tindakan tersebut tampaknya tidak dilakukan, menimbulkan pertanyaan tentang konsistensi penegakan aturan.
Pentingnya Edukasi dan Sosialisasi
Selain penegakan hukum, edukasi dan sosialisasi mengenai aturan berpakaian sesuai syariat Islam perlu ditingkatkan, terutama kepada peserta dari luar daerah.
Hal ini penting untuk mencegah pelanggaran yang disebabkan oleh ketidaktahuan.
Ketua Komisi C Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh Tgk Umar Rafsanjani, juga mengimbau kepada para pendatang dari luar Aceh agar menghormati kearifan lokal dengan tidak mengenakan celana pendek di tempat umum.
Kesimpulan
Sikap diam Wakil Wali Kota Banda Aceh saat pelari mengenakan celana pendek dalam Aceh Run 2025 mencerminkan dilema antara menjaga inklusivitas acara dan menegakkan syariat Islam.
Untuk ke depannya, pemerintah perlu lebih proaktif dalam memberikan edukasi kepada peserta dari luar daerah serta konsisten dalam penegakan aturan.
Dengan demikian, Aceh dapat tetap menjaga identitasnya sebagai daerah yang menjunjung tinggi syariat Islam, sekaligus terbuka terhadap partisipasi dari berbagai kalangan.
*Penulis adalah Warga Lingke, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh.