Keinginan Illiza Terapkan Tapping Box di Banda Aceh, Ambisi Mengejar PAD yang Jadi Beban Pengusaha Kecil
Oleh: Samsuwar*
Pemerintah daerah memiliki kewajiban mencari sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) guna membiayai pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam konteks ini, wacana yang dikemukakan Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, untuk menerapkan sistem tapping box guna memungut pajak 10% dari setiap transaksi di seluruh rumah makan dan kafe di Banda Aceh tentu saja merupakan sebuah ide yang patut dikaji secara mendalam.
Namun, apabila kebijakan ini dilihat lebih jauh, tampak ada beberapa aspek penting yang perlu dikritisi secara tajam, baik dari sisi implementasi, dampak terhadap pelaku usaha, efektivitas kebijakan, hingga sensitivitas sosial di tengah masyarakat Kota Banda Aceh.
1. Tapping Box: Solusi atau Beban Tambahan?
Tapping box secara umum adalah alat perekam transaksi elektronik yang dipasang di mesin kasir wajib pajak. Tujuannya untuk meningkatkan transparansi dan akurasi pelaporan pajak, terutama pajak restoran dan hiburan. Dengan adanya alat ini, pemerintah kota bisa memantau secara langsung omzet yang diperoleh wajib pajak dan memastikan bahwa pungutan pajak 10% dari konsumen benar-benar disetorkan ke kas daerah.
Secara prinsip, penggunaan tapping box adalah langkah modern yang sudah diterapkan di berbagai daerah lain seperti Jakarta, Bandung, dan Medan, yang terbukti efektif meningkatkan PAD.
Namun, ketika wacana ini diangkat oleh Illiza Sa’aduddin Djamal dalam konteks Kota Banda Aceh, ada sejumlah pertanyaan kritis yang perlu diajukan dan harus dijawab.
Apakah seluruh pelaku usaha kuliner di Banda Aceh siap dengan sistem ini? Apakah mereka telah diberikan literasi fiskal yang memadai? Apakah kebijakan ini akan memperhitungkan skala usaha, mengingat banyak rumah makan dan kafe serta warung kopi di Banda Aceh masih dalam kategori UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah)?
Jika semua rumah makan atau warung kopi, tanpa kecuali, dipaksa untuk menerapkan sistem ini tanpa diferensiasi dan pendampingan, maka kebijakan ini tidak hanya berpotensi menimbulkan ketidakadilan fiskal, tapi juga bisa menjadi beban tambahan yang justru mematikan usaha kecil.
2. Padahal Sudah Dibebani Banyak Pajak Lain
Perlu dicatat bahwa pelaku usaha makanan dan minuman sudah harus menghadapi berbagai pungutan, mulai dari pajak penghasilan, pajak reklame, biaya izin usaha, hingga biaya-biaya tidak resmi yang masih marak dalam praktik birokrasi kita.
Dengan menambah satu instrumen pemungutan gaya baru—yakni tapping box dengan potongan pajak 10% dari setiap transaksi—hal ini dapat dianggap sebagai kebijakan yang tidak berpihak kepada dunia usaha, khususnya pelaku UMKM.
Logika umum konsumen menyatakan bahwa ketika ada pungutan pajak 10% pada makanan, maka harga jual kepada konsumen akan naik. Namun, realitasnya tidak sesederhana itu.
Di banyak daerah, ketika pengusaha dibebani pungutan tambahan, mereka tidak serta-merta menaikkan harga karena khawatir kehilangan pelanggan. Alhasil, pengusaha terpaksa menyerap beban pungutan tersebut sendiri, yang pada akhirnya memangkas margin keuntungan mereka.
Dalam jangka panjang, ini bisa berdampak pada keberlanjutan usaha.
3. Dampak psikologis terhadap dunia usaha
Wacana tapping box dan pemungutan 10% dari setiap transaksi juga menciptakan kekhawatiran dan keresahan di kalangan pelaku usaha. Banyak pengusaha kecil merasa bahwa pemerintah terlalu fokus mengejar pendapatan tanpa mempertimbangkan kemampuan riil pelaku usaha dalam memenuhi kewajiban fiskalnya.
Apalagi Kota Banda Aceh bukan kota besar dengan perputaran uang yang tinggi seperti Jakarta, Medan, Surabaya. Jumlah konsumen yang terbatas serta daya beli masyarakat yang relatif rendah, terutama terkait krisis ekonomi global, membuat usaha kuliner di Kota Banda Aceh tidak dalam kondisi sehat.
Pengawasan yang terlalu ketat juga bisa menciptakan iklim usaha yang represif. Banyak pelaku usaha merasa selalu dicurigai tidak jujur, dan tapping box bisa dianggap sebagai bentuk ketidakpercayaan pemerintah terhadap dunia usaha.
Padahal, dalam menciptakan iklim usaha yang sehat, kepercayaan adalah elemen yang sangat penting.
4. Mengabaikan Aspek Sosial dan Budaya Banda Aceh
Kebijakan fiskal seharusnya tidak hanya dinilai dari sisi administratif atau akuntansi belaka. Kota Banda Aceh memiliki karakteristik sosial-budaya yang khas. Sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam, sensitivitas terhadap harga makanan, usaha kecil, dan nilai-nilai keadilan ekonomi sangat tinggi.
Jika tapping box diterapkan secara kaku, tanpa pendekatan yang persuasif dan kontekstual, maka potensi penolakan dari masyarakat cukup besar.
Sikap pemerintah, dalam hal ini yang diwakili Illiza Sa’aduddin Djamal sebagai figur politik, semestinya lebih reflektif terhadap realitas sosial. Terlalu mengandalkan instrumen elektronik untuk kontrol pungutan bisa menimbulkan resistensi, apalagi jika komunikasi publik tentang tujuan dan manfaat kebijakan ini tidak dilakukan secara masif dan transparan.
Jangan sampai masyarakat menganggap ini hanya sebagai cara pemerintah mencari uang dengan cara “memeras” dan “menghisap darah” rakyat kecil.
5. Reformasi Tata Kelola Pajak dan Edukasi Wajib Pajak
Alih-alih langsung menerapkan sistem tapping box secara menyeluruh, pendekatan yang lebih bijak adalah melakukan reformasi tata kelola pajak secara menyeluruh.
Pemerintah Kota bisa mulai dengan melakukan pendataan ulang wajib pajak, memperbaiki sistem pelaporan manual, memberikan pelatihan dan edukasi tentang perpajakan kepada pelaku usaha, dan menciptakan sistem insentif bagi pelaku usaha yang patuh.
Selain itu, pemerintah juga bisa mempertimbangkan skema tarif pajak progresif berdasarkan omzet. Misalnya, rumah makan dengan omzet di bawah Rp100 juta per tahun dibebaskan dari pajak restoran, sementara yang beromzet di atas Rp500 juta baru dikenai pajak restoran secara penuh.
Ini akan menciptakan keadilan fiskal, sekaligus mendorong pelaku usaha untuk tumbuh.
Jika tapping box tetap ingin diterapkan, maka semestinya dimulai dari usaha-usaha besar terlebih dahulu, seperti jaringan restoran cepat saji, hotel, dan kafe-kafe besar di pusat kota.
Setelah sistemnya berjalan baik, barulah bertahap menyasar usaha menengah ke bawah dengan pendekatan yang lebih lunak dan edukatif.
6. Risiko Gagalnya Implementasi
Beberapa daerah yang telah menerapkan tapping box menghadapi tantangan serius, seperti perlawanan dari pelaku usaha, manipulasi sistem, serta minimnya kapasitas teknis dari petugas pajak daerah dalam memonitor dan menindaklanjuti data tapping box secara real time.
Jika Kota Banda Aceh tidak belajar dari kegagalan daerah lain dan justru tergesa-gesa menerapkan kebijakan ini, maka hasilnya bukan hanya nihil, tetapi bisa memperburuk citra pemerintah di mata masyarakat.
Belum lagi soal biaya pengadaan dan pemeliharaan tapping box yang tentu tidak murah. Siapa yang akan menanggung biaya ini?
Jika dibebankan kepada pelaku usaha, maka ini adalah beban tambahan lagi. Jika dibayar oleh APBK (Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota), apakah alokasinya proporsional dengan manfaat yang dihasilkan?
Banyak pertanyaan semacam ini yang hingga kini belum dijawab secara terbuka oleh pihak yang mewacanakan kebijakan tersebut.
7. Kritik Terhadap Pendekatan Elitis dalam Pengelolaan Pajak Daerah
Gagasan Illiza Sa’aduddin Djamal untuk menerapkan tapping box dengan skema pemungutan 10% dari seluruh transaksi rumah makan dan kafe di Kota Banda Aceh tampaknya lebih bersifat top-down dan elitis.
Kebijakan ini kurang menyentuh realitas konkret yang dihadapi pelaku usaha kecil, serta berpotensi menambah beban psikologis.
Jika tujuannya adalah untuk meningkatkan PAD, maka ada banyak cara lain yang lebih adil dan partisipatif. Pemerintah kota perlu membangun kepercayaan dengan pelaku usaha, meningkatkan transparansi dalam pengelolaan pajak, serta mengedepankan prinsip keadilan fiskal.
Kritik ini bukan untuk menolak sistem tapping box secara mutlak, tetapi untuk mengingatkan bahwa kebijakan fiskal, sekecil apapun, harus memperhatikan konteks lokal, daya dukung ekonomi masyarakat, serta kapasitas implementasi di lapangan.
Bila tidak, alih-alih meningkatkan pendapatan daerah, kebijakan ini justru akan menciptakan kegaduhan sosial dan mematikan potensi ekonomi lokal yang sedang tumbuh perlahan.