4 Ketentuan Rujuk dalam Hukum Pernikahan di Indonesia
Aturan ini sesuai dengan ketentuan fiqih yang menyatakan bahwa rujuk hanya bisa dilakukan saat perceraian masih talak satu atau talak dua. Wanita yang sudah terkena talak tiga telah dinyatakan berpisah secara total (bainunah) dengan mantan suaminya. Imam As-Syairazi menjelaskan:
إِذَا طَلَّقَ الْحُرُّ امْرَأَتَهُ طَلْقَةً أَوْ طَلْقَتَيْنِ، أَوْ طَلَّقَ الْعَبْدُ امْرَأَتَهُ بَعْدَ الدُّخُولِ طَلْقَةً، فَلَهُ أَنْ يُرَاجِعَهَا قَبْلَ انْتِهَاءِ الْعِدَّةِ
Artinya, “Jika seorang laki-laki merdeka menceraikan istrinya dengan satu atau dua talak, atau seorang budak menceraikan istrinya setelah hubungan suami-istri dengan satu talak, maka ia berhak merujuk istrinya sebelum masa iddah selesai.” (Al-Muhadzdzab fi fiqihil Imam asy-Syafiʿi, [Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah], juz III, hal. 46)
Selain itu, dalam aturan tersebut terdapat frasa “sebelum dukhul“. Frasa tersebut merujuk pada situasi di mana suami belum melakukan hubungan seksual dengan istrinya. Secara hukum islam, dukhul mengacu pada hubungan intim yang menjadi tanda dimulainya hubungan fisik dalam pernikahan. Jika talak dijatuhkan sebelum terjadinya dukhul, maka hak rujuk tidak berlaku, karena dalam situasi ini, pihak istri tidak wajib menjalani iddah. Oleh karena itu, keputusan talak dalam kondisi ini bersifat final, dan pasangan tidak memiliki hak untuk kembali rujuk.
Hal tersebut salah satunya dijelaskan oleh Sayyid Bakri Syatha. Beliau menjelaskan:
فَلَا يَصِحُّ الرُّجُوعُ فِي الْمُفَارَقَةِ قَبْلَ الْوَطْءِ؛ لِأَنَّهُ لَا عِدَّةَ عَلَيْهَا، وَشَرْطُ الرَّجْعَةِ أَنْ تَكُونَ فِي عِدَّةٍ
Artinya, “Tidak sah rujuk pada wanita yang diceraikan sebelum hubungan suami-istri karena tidak ada masa iddah baginya. Syarat rujuk adalah wanita tersebut berada dalam masa iddah.” (Iʿanat ath-Thalibin ʿala Hall Alfazh Fath al-Muʿin, [Beirut, Dar al-Fikr: 1418 H/1997 M], juz IV, cet. I, hal. 35)
3. Perpisahan Tidak melalui Khulu’
Ketentuan lain yang harus diperhatikan dalam proses rujuk adalah bahwa perpisahan antara suami dan istri tidak boleh dilakukan melalui mekanisme khulu’. Pasal 163 ayat (2b) KHI menjelaskan bahwa khulu’, atau perceraian atas permintaan istri dengan memberikan tebusan, menghilangkan hak rujuk bagi suami.