4 Ketentuan Rujuk dalam Hukum Pernikahan di Indonesia
Pasal 163 ayat (2b) KHI menyebutkan:
“Putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk.”
Hal ini sejalan dengan pendapat dalam fiqih yang menyatakan bahwa perpisahan melalui khulu’ dan li’an tidak memungkinkan rujuk, sebagaimana disebutkan:
وَلَا مُفَارَقَةٌ بِدُونِ ثَلَاثٍ مَعَ عِوَضٍ كَخُلْعٍ لِبَيْنُونَتِهَا
Artinya: “Dan tidak sah rujuk dengan wanita yang dicerai di bawah tiga kali talak dengan bayaran seperti khulu’, karena itu menyebabkan bain (terputusnya hubungan pernikahan).” (Zainuddin al-Malibari, Fathul Muʿin bi Syarh Qurratil ʿAin bi Muhimmatid Din, [Beirut, Dar Ibn Hazm: t.t], juz I, cet. I, hal. 521)
4. Sepengetahuan Istri
Aturan rujuk di Indonesia juga memberikan perhatian khusus pada hak istri dalam menentukan statusnya. Pasal 164 dan 165 KHI menyebutkan bahwa istri berhak untuk mengajukan keberatan atas proses rujuk yang diajukan oleh suami. Bahkan, pengajuan rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan istri dapat dinyatakan tidak sah.
Pasal 164 dan 165 KHI menyebutkan:
“Seorang wanita dalam iddah talak raj’i berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi.”
“Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.”
Terdapat perbedaan antara aturan yang berlaku ini dengan ijma’. Dalam konteks ketika suami telah mengucapkan kalimat rujuk, ijma para ulama menjelaskan bahwa seorang suami tidak perlu meminta persetujuan mantan istrinya. Salah satu yang menjelaskan klaim ijma tersebut adalah Imam Ibnu Qudamah. beliau menjelaskan:
وَلَا يُعْتَبَرُ فِي الرَّجْعَةِ رِضَى الْمَرْأَةِ؛ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: ﴿وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا﴾ [البقرة: ٢٢٨]. فَجَعَلَ الْحَقَّ لَهُمْ… وَأَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى هَذَا
Artinya: “Rujuk tidak mensyaratkan keridhaan wanita, sebagaimana firman Allah Ta’ala: Dan para suami mereka lebih berhak untuk merujuk mereka dalam masa itu jika mereka menginginkan perbaikan. (QS. Al-Baqarah: 228). Dengan demikian, hak itu diberikan kepada para suami … dan para ‘Ulama sepakat akan hal itu.” (Al-Mughni, [Kairo, Maktabah al-Qahirah: 1388 H/1968 M], juz VII, cet I, hal. 519)