Oleh: Dr. Mizaj Iskandar Usman, Lc LL.M*
Banyak hal menarik yang layak diketahui saat membicarakan sebab penamaan surat pertama dalam susunan al-Qur’an dengan al-Fatiḥah.
Pertama, dari segi tertib turun, surat ini bukanlah yang pertama turun kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam kitab al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān karya Al-Suyūṭī diterangkan bahwa al-Fātiḥaḥ merupakan surat ke-17 yang turun kepada Nabi. Meski begitu surat ini tetap dinamakan al-Fatiḥah (pembuka).
Kedua, nama yang dipilihkan oleh Nabi untuk surat ini adalah al-Fatiḥah, bukan al-Muqaddimah, al-taqdīm, tawṭi’ah atau tamḥīd. Padahal keempat kosakata tersebut yang paling lazim digunakan dalam bahasa Arab untuk menyebut pembuka.
Secara etimologis, kata al-fatiḥah merupakan bentuk ism fā‘il mu’annats (subjek feminim) dari asal kata kerja fataḥa (membuka). Dalam makna ini, kata al-fātiḥah bermakna dua sekaligus the opener (pembuka) dan to open (untuk membuka).
Dua pemaknaan terhadap kata al-fatiḥah inilah yang akan menjelaskan kepada kita sebab Nabi menamakan surat ini dengan kata al-fātiḥah dan bukan menggunakan kata kata sinonim lain yang ada dalam pembendaharaan kosakata Arab.
Dalam sejarah Islam dijelaskan pada tahun 8 Hijriah, Nabi berhasil menaklukan kota Mekkah dimana delapan tahun sebelumnya beliau terusir dari kota tersebut dalam keadaan nelangsa. Peristiwa itu dikenang dalam sejarah Islam sebagai fatḥ al-makkah.
Allah turut mengabadikan peristiwa gemilang tersebut dalam surat al-Naṣr. Pada ayat pertama Allah berfirman “idzā jā’a naṣrullahi wa al-fatḥ (jika telah datang pertolongan dari Allah dan berkah pertolongan itu kamu berhasil menaklukan kota Mekkah). Sejak peristiwa itu Nabi dikenal seantero Arabia sebagai al-fātiḥ (the conqueror).
Setelah Nabi wafat perjuangan beliau diteruskan oleh khulafā’ rasyidūn (the caliphates). Khalifah yang tersohor dengan kegiatan pembebasan wilayah-wilayah non muslim adalah Umar bin Khattab. Usaha Umar tersebut dalam tārīkh Islām (sejarah Islam) dikenal dengan sebutan al-futūhāt al-Islāmīyyah (pembebasan wilayah-wilayah non Islam).
Pada masa kekuasaannya, wilayah Islam di Timur telah sampai ke anak benua India, sedangkan di Barat telah sampai ke wilayah Maroko. Masyarakat Arab saat itu pun menggelari Umar sebagai al-Fātiḥ.
Selanjutnya, pada tahun 1453 M, seorang sultan Dinasti Turki Usmani (Ottoman) yang bernama Sultan Muhammad Salim II berhasil menyeberang selat Bosporus dan menaklukkan kota Konstantinopel yang saat itu menjadi ibu kota Byzantium Timur.
Setelah peristiwa bersejarah itu Sultan Muhammad Salim II lebih dikenal dengan sebutan Sultan Al-Fatih. Seandainya saja Nabi, Umar dan Sultan Muhammad Salim II perempuan, pasti masyarakat Islam saat itu akan menyebut mereka dengan al-fātiḥaḥ bukan al-fātiḥ.
Fakta-fakta sejarah ini menjelaskan kepada kita the power of conqueror (kekuatan penakluk) yang terkandung dalam surat pertama al-Qur’an itu.
Bertolak dari makna pertama ini baru dapat dipahami makna kata al-fātiḥaḥ yang kedua, yaitu to open (untuk membuka). Idealnya setiap kegiatan manusia itu dimulai dengan membaca al-Qur’an secara keseluruhan.
Tetapi bukankah membaca 114 surat al-Qur’an sebelum memulai aktivitas itu merepotkan. Maka kemudian dipersingkatkan menjadi membaca al-Fātiḥah. Dengan kata lain, intisari al-Qur’an terletak pada pembukanya (al-Fātiḥah) sebagaimana inti dari sebuah buku terletak pada mukadimahnya.
Hal ini membuat surat al-Faṭiḥah menjadi surat padat makna sehingga Nabi menyebutnya sebagai induk al-Qur’an (umm al-kitāb). Induk al-Qur’an yang berjumlah tujuh ayat inilah yang diperintahkan untuk dibaca secara berulang-ulang (sab‘ān al-matsānī) dalam shalat.
Sehingga Nabi bersabda dalam sebuah hadis “lā ṣalāta liman lam yaqra’ bifātiḥatil al-kitāb (tidak ada shalat yang sah tanpa membaca al-Fātiḥah). Sehingga seorang ulama Syiah terkemuka yang bernama Muhammad Husain Tabataba’i mengarang kitab tafsir al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān secara khusus membahas tafsir surat al-Fātiḥah dalam satu jilid setengah dari 20 jilid keseluruhan kitab tafsirnya tersebut. Inilah fungsi teologis dari surat al-Fātiḥah.
Sedangkan dari dimensi budaya dan kultur, al-Fātiḥah juga memiliki peran strategis dalam semua sendi kehidupan muslim. Membuka dan mengakhiri pengajian, pembacaan tahlilan (Aceh: Samadiyah), membuka acara, kendurian dan lain sebagianya pasti dibuka dengan membaca al-Fatiḥah.
Selain ngalap barokah (mencari barakah), semua mengalfatihahkan semua rutinitas ternyata memiliki basis tuntunan dari sunnah Nabi. Dalam Ṣaḥīḥ Muslim diceritakan bahwa suatu hari saat Jibril sedang bersama Nabi, tiba-tiba terdengar suara seperti pintu yang terbuka dari arah atas langit.
Jibril menjelaskan kepada Nabi jika itu merupakan suara dari pintu langit yang hari itu terbuka dan pintu tersebut belum pernah dibukakan sebelumnya. Kemudian turunlah sesosok malaikat yang sebelumnya belum pernah turun ke bumi.
Lalu Malaikat tersebut berkata “Absyir bi nūraini ūtītahumā lam yu’tahuma nabiyun qablaka fātiḥatul al-kitāb wa khawātimu sūratil al-baqarah lan taqra’ minhumā illā u‘ṭītahu (bergembiralah atas dua cahaya yang diberikan kepadamu dan belum pernah diberikan kepada seorang nabipun sebelummu, yaitu pembuka al-Qur’an dan penutup surat al-Baqarah. Tidaklah kamu membaca satu huruf dari kedua surat itu kecuali akan diberikan kepadamu).
Al-Fatiḥah sebagai rangkuman al-Qur’an, surat padat makna, induk al-Qur’an, dibaca berulang-ulang dalam shalat maupun di luar shalat menghasilkan energi menaklukkan (the power of conqueror) dalam diri seorang muslim.
Sesulit apapun permasalahan yang dihadapi pasti bisa ditaklukkan asal seorang muslim masih membaca al-Fātiḥah. Pada akhirnya ini menjelaskan kenapa Nabi jika menghadapi masalah pelarian beliau adalah mengerjakan shalat. Dalam sebuah hadis Nabi berkata “wa ju‘ilat qurrata ‘ainī fī al-ṣalāh” (Allah menjadikan ketenangan hidupku dalam shalat). Wallahu a‘lam bil ḥaqīqah wa ṣawāb.